Mohon tunggu...
A. Dahri
A. Dahri Mohon Tunggu... Penulis - Santri

Alumni Sekolah Kemanusiaan dan Kebudayaan Ahmad Syafii Maarif (SKK ASM) ke-4 di Solo Iswaya.com

Selanjutnya

Tutup

Nature Pilihan

Bijak Mengatur Lahan

19 Juni 2020   12:37 Diperbarui: 19 Juni 2020   12:38 479
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

/1/

Peningkatan jumlah penduduk agaknya juga memaksa untuk menambah jumlah tempat tinggal. Baik membangun di samping rumah asalnya atau membeli tanah yang sudah dikavling-kavling dan menjadi perumahan-perumahan. Tentu dengan ragam promosi dan fasilitas yang menggiurkan.

Ketika sebagian orang berlomba-lomba memperbaiki lahan pertaniannya, saat itu juga para tengkulak tanah untuk perumahan berlomba-lomba memasarkan dagangannya. Biasanya akan cepat laku kalau tanah-tanah kavling itu berdekatan dengan fasilitas publik, kampus, mall, pasar, dan lain sebagainya. Di samping itu juga pemandangan alam yang memanjakan mata dan suasana, sehingga menjadi daya tarik tersendiri bagi calon pembeli.

Tetapi pernahkah kita sejenak berpikir bahwa sebenarnya lahan-lahan yang ada di sekitar kita sangat mungkin untuk menjaga kedaulatan pangan. Baik lingkup kampung, desa sampai seluas Negara. Mengapa? Perlu kita ketahui banyak sekali tanah-tanah produktif yang seharusnya bisa ditanami padi, umbi-umbian, jagung dan lain sebagainya, berubah menjadi bangunan-bangunan yang serba minimalis pun super mewah.

Kalau di tahun 2010an dulu muncul istilah ijo ruko-ruko di mana terbangun ruko-ruko di sepanjang jalan yang dulunya adalah pohon-pohon yang menjulang, yang menjaga stabilitas udara sehingga menjadi sejuk dan tak pengap. Sedangkan delapan tahun kemudian berubah menjadi alih fungsi lahan produktif menjadi lahan-lahan kavling dan berjubel perumahan-perumahan yang bertengger di lahan-lahan tersebut.

Permasalahan yang muncul hari ini adalah permasalahan ketahanan pangan. Di mana harga bahan-bahan kebutuhan pokok tidak stabil dan cenderung berubah bahkan lebih mahal. Sayang sekali beras, kedelai dan kebutuhan pokok yang lain kabarnya masih impor dari beberapa Negara tetangga. Kan. Menjaga relasi, salah satu bentuk silaturrahmi, iya kalau itu tidak berdampak kepada masayrakat, kalau sebaliknya? Tentu akan mengakibatkan kesenjangan di dalam ruang-ruang publik.

Dengan kata lain, lebih baik sepuluh ribu sekarang, ketimbang seratus ribu minggu depan. Ungkapan ini kerap menjadi bahan perenungan, bahwa sebenarnya apa yang menjadi unsur-unsur pemenuhan kebutuhan pokok seharusnya lebih diutamakan. Tempat tinggal itu penting lho, siapa yang tidak menyetujui itu? Akan tetapi perlu adanya peninjauan kembali terhadap apa yang menjadi kebutuhan utama saat ini.

Permasalah lahan memang sulit diterka, yang sering terjadi adalah tanah warisan sering jadi rebutan, kalau sudah dapat maka tidak sabar untuk menjualnya. Begitu juga dengan tanah-tanah yang sifatnya milik Negara, atau HGU yang sudah habis, pasti banyak sekali yang sudah berebut, dengan alasan untuk kesejahteraan, pada akhirnya ketika hak guna jatuh ke tangannya atau sampai bersertifikat, maka tak sabar ingin segera menjualnya. Tidak sedikit kejadian seperti itu terjadi di masyarakat kita.

/2/

Lahan produktif adalah lahan yang bisa dimanfaatkan sebagai sumber pemenuhan kebutuhan pokok, utamanya kebutuhan pangan. Kondisi terdampak pandemi Covid-19 mengajarkan kepada kita semua bagaimana pentingnya pemenuhan kebutuhan pokok. Bahwa kebutuhan sehari-hari lebih utama untuk segera dicukupi ketimbang kebutuhan yang bersifat masih bisa ditunda.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Nature Selengkapnya
Lihat Nature Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun