Mohon tunggu...
Mastur Sonsaka
Mastur Sonsaka Mohon Tunggu... -

pencari kebenaran dan pengabdi pengetahuan

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Selebritisme dan Syndrome Inferiority Complex

3 Desember 2013   10:34 Diperbarui: 24 Juni 2015   04:23 77
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Oleh: Mastur Sonsaka

Abstract

Human is anorganism that always tends to have a pleasure (Freud, 1996:26). He calls it as the Id mechanism (a biological aspect of human being) which always demands an actualization of its satiation. Indonesian society on sociology perspective is as a society which was colonized by capitalism countries, even up to present it is still under the grip of capitalism countries (well known as neo-imprialism). This phenomenon grows and increases the hedonistic culture and consumptive culture toward Indonesian society. Celebritisme phenomenon (pop culture/Hollywood culture) toward Indonesian society, its teenagers, becomes a proven of individual and social reality (two assumptions mentioned previously). Mass media, then, has a great role in influencing personal counsciousness and it directs Indonesian society to be have what mass media exposes or present. Mass media contextually, has a dominant and great role in growing and developing celebritism mentality of Indonesian society.

Kata kunci: Selebritsme, syndrome inferiority complex dan post-kolonial

Pendahuluan

Gaya hidup glamor, hura-hura dan seabrek gaya hidup hedonistic lainnya merupakan gambaran pola hidup yang mengelilingi kehidupan seleb, paling tidak itulah gambaran yang terinternalisasi dalam aras imajinasi masyarakat awam. Selebriti sebagai salah satu “figure masyarakat” (public figure) seolah telah menjadi pusat kehidupan masyarakat terutama kaula muda. Stephen R. Covey mendefinisikan pusat kehidupan sebagai keadaan dimana komunitas atau individu mengarahkan segala kapasitas diri baik kognitif, afektif, konatif maupun psikomotorik demi menyentuh apa yang disangka menjamin kelangsungan hidup. Fenomena menjamurnya kontestan audisi Akademi fantasi XFactor, The Voice Indonesia, Indonesia Mencari Bakat (IMB), PILDACIL dan sejenisnya diseluruh kota, paling tidak membuktikan bahwa imajinasi kaum muda Indonesia akan nikmatnya hidup sebagai selebriti telah menjadi pusat kehidupan. Freud (1988) mengakui bahwa prinsip kesenangan, kenikmatan dan kepuasan merupakan impuls yang menggerakkan perilaku spesies manusia, yang kemudian disebut dengan istilah Id.

Sebagian orang menilai bahwa fenomena selebriti kontemporer tidak hanya menjadi hiburan dan tontonan semata, namun lebih jauh telah bergeser kearah media rekayasa social (social engeneering) yang efektif dalam menuntun ranah kognisi, afeksi, konasi dan psikomotorik massa (Rahmat, 2000). Fenomena selebriti dan selebritisme dewasa ini sekaligusmerupakan dampak langsung dari pengkebirian budaya local yang berlangsung selama proses kolonialisme dan imperialism Negara-negara barat atas Negara-negara dunia ketiga termasuk Indonesia. Globalisasi menjadi bentuk kolonialisme dan imperialism baru (neo-imperialisme) Negara-negara barat atas Negara-negara dunia ketiga yang ditandai dengan semakin bebasnya budaya-budaya asing merembeskerelung-relung terdalam budaya local melalui system informasi (Freud, 2000). Hal ini tentunya berakibat pada terjadinya asimilasi budaya, sementara kondisi mental manusia Negara-negara dunia ketiga merupakan masyarakat konsumeris. Dalam kondisi mental seperti ini, masyarakat kemudian menjadi sangat mudah mengalami penetrasi budaya oleh budaya-budaya baru. Budaya local kemudian menjadi sangat inferior ketika berhadapan dengan budaya barat, Franz Fannon menyebutnya dengan istilah syndrome inferiority cimplex. Celakanya, inferioritas Negara-negara ketiga khususnya Indonesia telah lama terjadi dalam dunia pendidikan, institusi yang darinya proses transformasi social-budaya dimulai. Orang Indonesia tidak bisa diakui memiliki kompetensi terhadap suatu bidang ilmu pengetahuan jika belum belajar di Negara-negara barat.

Dari deskripsi di atas muncul beberapa preposisi mendasar berkaitan dengan fenomena selebritisme masyarakat terutamna kaum muda akhir-akhir ini, yaitu apakah fenomena tersebut merupakan fenomena psikis atau fenomena social? artinya, apakah fenomena tersebut murni atas imajinasi individual yang terinternalisasi sebagai konsekwensi logis atas kecenderungan organis manusia yang selalu menuntut pemenuhan atas potensi Id seperti yang disenyalir oleh Freud? Atau ia merupakan dampak system social yang – meminjam istilah Karl Marx – mengkoersofikasi kesadaran individu sehingga menjadi kesadaran massif? Lalu bagaimana kita sebagai individu kreatif bersikap terhadap fenomena tersebut? Beberapa preposisi inilah yang akan dieksplorasi dalam tulisan singkat ini.

Selebritisme: Antara Manipulasi Sosial dan Instink Individual

Untuk menggambarkan fenomena selebritisme ini beberapa tokoh menyebutnya dengan istilah yang berbeda-beda. Azizi (2003) misalnya menyebut fenomena ini dengan istilah “budaya Hollywood”, istilah ini mengacu padaperilaku dan mentalita gaya hidup pelaku Hollywood seperti kemewahan, foya-foya dan lain-lain. Pop culture merupakan istilah lain yang menggambarkan pola hidup selebritisme yang hedonis dan konsumeris. Istilah ini dipopulerkan oleh kelompok cultural studies yang pada intinya menggambarkan fenomena gaya hidup popular yang menjamur di daerah-daerah urban (perkotaan). Apapun istilah yang dilekatkan pada fenomena – dalam istilah tulisan ini – selebritisme, tetap saja mengacu pada sebentuk gejala peleburan diri pada pola pikir, rasa dan perilaku –Jung – menyebutnya gaya hidup (life style) yang hedonistic. Adalah sebuah pemandangan umum dinegeri ini begitu banya acara-acara di stasiun TV yang mencoba memfasilitasi kecenderungan masyarakat muda akan gaya hidup selebriti, sebut saja XFACTOR, The Voice Indonesia, PILDACIL, Indonesia Mencari Bakat (IMB) dan lain-lain, baik versi anak-anak ataupun dewasa, bahkan aktivitas memasak yang seharusnya menjadi domain domestic, oleh karena kerasnya arus pasar entertain maka muncullah acara TV Master Chief. Tidak kalah menariknya dalam konteks ini, selebritisasi Ustaz dan Da’I pun terjadi seperti tampak dalam PILDACIL dan Audisi Da’I muda disalah satu stasiun TV yang menciptakan Ustaz dan Da’I yang selebritis dan selebritis yang Ustaz dan Da’i. Belum lagi blow up kehidupan selebriti melalui acara-acar infotainment yang semakin membuat kaum muda terkooptasi pada kehidupan seleb. Masyarakat muda Indonesia kemudian menjadi belum cukup merasa memiliki kepercayaan diri kalau belum meniru trend kehidupan selebriti mulai dari gaya bahasa sampai pada gaya berbusana. Sehingga tidak heran kemudian dalam perbendaharaan bahasa Indonesia terdapat bahasa-bahasa “gaul” yang tentunya struktur bahasa ini tidak kita temukan dalam struktur formal bahasa Indonesia. Kecenderungan ini sesungguhnya tidak lepas dari peran serta selebritis dalam memproduksi istilah-istilah kebahasaan, bahkan pada titik tertentu selebritis mampu memainkan peran – dalam istilah Foucoult – relasi kuasa bahasa (1976). Kita tahu bagaimana kata “lebay”, “alay”, “galau” dan lain-lain tiba-tiba menjadi kata yang sangat popular akhir-akhir ini setelah banyak seleb bertutur kata-kata tersebut. Dalam konteks berbusana, tidak jarang pula kita temukan kaum muda di kampung-kampung berbusana bahkan berperilaku layaknya yang kita lihat di film dan TV.

Kalau fenomena selebritisme ini kita lihat dari perspektif bottom up – kalu kita sepakat dengan dikotomi; selebritis sebagai pihak kelas atas disatu sisi dan masyarakat sebagai pihak kelas bawah disisi lain. Karena ketika posisi selebritis ditempatkan sebagai pihak yang menjadi pusat perhatian yang mempesona, maka pada saat yang sama posisi masyarakat umum menjadi pihak yang terpesona dan dikuasai -, maka akan kita temukan bahwa fenomena ini merupakan fenomena individual. Oleh karena secara instinctual manusia merupakan organism yang memiliki kecenderungan pada sesuatu yang menyebabkan pemenuhan hasyrat kenikmatan. Seperti diketahui bahwa ditingkat kasat mata kehidupan selebritis menggambarkan kehidupan yang dipenuhi oleh kenikmatan, kebahagiaan dan kepuasan, sehingga hal ini kemudian diinternalisasi oleh individu dan menjadi ketidaksadaran dalam aras imajiner individu yang pada akhirnya mengarahkan dan menuntun kesadaran individualnya. Tidak heran kemudian banyak ditemukan pemuda di kampung-kampung berperilaku seperti selebritis. Hal ini tidak lepas dari hasil internalisasinya terhadap pola perilaku selebritis. Lebih dari itu, betapa banyak kaum muda terutama cewek yang histeris ketika bertemu dengan selebritis idolanya. Dalam konteks ini, individu menjadi tampak rasional dalam berperilaku.

Sedangkan dalam perspektif structural-konflik (top down) fenomena mengismenya selebriti adalah sebuah fenomena koersifikasi individu oleh system social yang kapitalistik (Maliki, 2004). Artinya, fenomena ini merupakan sebuah fenomena manipulasi social yang sedang dan akan terus menerus dilakukan oleh kelompok-kelompok kepentingan, yakni kapitalisme dalam kerangka menyeret kesadaran individu menjadi ketidaksadaran social (social uncounsciousness), sehingga terbentuk ketidak sadaran komunal yang konsumeris, hedonis dan mekanis-materialistik. Koersifikasi kesadaran individu ini sesungguhnya telah terjadi sejak masa kolonialisme dan imperialism, dimana masa ini telah terjadi penundukkan budaya local oleh budaya colonial (Fakih, 2002). Terkikisnya budaya gotong royong, kebersamaan, persaudaraan, kepekaan social, kerja keras dan lain-lain di Indonesia dan digantikan oleh budaya materialis, individualis, konsuneris, hedonis dan lain-lain merupakan buah dari proses penetrasi budaya. Proses penundukkan budaya ini masih berlangsung sampai sekarang dalam bentuk dan format baru, yakni globalisasi. Proyek globalisasi ini sesungguhnya berakar pada ideology ekonomi neo-klasik yang digagas oleh Keynes. Teori neo-klasik ini meyakini bahwa pertarungan yang bebas dalam konteks ekonomi merupakan syarat mutlak untuk mencapai kemakmuran yang diikuti dengan konsep trickle down effectnya (Soros, 1998). Menurut Keynes, dari pertarungan yang bebas tersebut akan memunculkan pihak yang kalah dan pihak yang menang. Kelompok pemenang dalam pertarungan ini biasa kita sebut sebagai borjuis atau pemilik modal, sedangkan kelompok yang kalah disebut kaum proletar, buruh tani, kaum miskin kota dan sebagainya. Nah pihak yang kalah inilah menurut Keynes yang harus dipelihara oleh Negara (trickle down effect). Dalam konteks Indoneisa, teori inilah yang diterapkan selama 32 tahun oleh rezim Orde Baru. Untuk mengembangkan teori neo-klasik ini, Keynes berpandangan bahwa penerpannya tidak boleh di Negara pernegara saja tetapi ia harus menjadi ideology ekonomi global. Hal inilah yang memunculkan apa yang biasa kita sebut sebagai neo-liberalisme. Konsep neo-liberalisme ini kemudian diikuti ddengan konsep globalisasi baik dibidang ekonomi, politik, HANKAM, budaya dan lain-lain. Globalisasi mengandaikan suatu system dunia yang menyatu tanpa batas-batas territorial tertentu. Alhasil, media massa baik cetak maupun elektronik menjadi prasyarat mutlak dalam mendesakkan segala bentuk gagasan ini, dalam konteks ini media massa berada digarda terdepan dalam proses peleburan individu kepada kepentingan global. Globalisasi ini kemudian menjadi bentuk kolonialisme baru dalam mencengkram kemabli Negara-negara bekas jajahan dengan menciptakan aparatur dalam menjaga stabilitas dunia agar sesuai dengan kepentingan global, dakam bidang politik dan keamanan misalnya kita temukan PBB, dibidang ekonomi kita temukan World Bank dan IMF, dibidang perdagangan Multy Mational Corporation (MNC), dibidang kesehatan ada WHO, dibidang pendidikan dan kebudayaan ada UNESCO dan lain-lain. Lembaga-lembaga tersebutlah yang digunakan oleh Negara-negara bekas penjajah untuk mencengkeram kembali Negara-negara bekas jajahan dalam bentuk regulasi yang sepenuhnya hanya menguntungkan Negara-negara adidaya. Dengan demikian, tidak heran kita menyaksikan betapa gaya hidup agraris tergeser oleh gaya hidup industrial, dan selebritisme merupakan salah satu bentuk gaya hidup industrial tersebut. Indonesia yang secara geografis adalah Negara agraris “dipaksa” menjadi Negara industry, maka apa yang di Amerika disebut American Idol dan The Voice America di Indonesia menjadi Indonesian Idol dan The Voice Indonesia, IMB, Xfactor dan lain-lain. Dalam kontek ini, Indonesia menjadi bangsa yang gagap terhadap tradisi-tradisi baru (shock culture). Lebih jauh ilmuan post-kolonialisme seperti Homi K. Baba dan Gayatri Spivak, menyebut fenomena ini sebagai karakter khas masyarakat Negara-negara bekas jajahan yang Hybrid (tercangkok) dan subaltern (terbisukan). Fenomena selebriti menjadi isme dalam konteks sosiologis dapat kita lihat juga pada momentum politik seperti Pemilu, mulai dari Pemilu 2004, 2009 dan esok dalam Pemilu 2014, dimana kita melihat betapa selebriti menjadi komoditas politik bagi partai-partai politik dalam meraup suara besar (vote getter), terbukti bahwa partai politik yang memasang selebriti sebagai Calegnya cukup signifikan dalam perolehan suara. Dus, analisa sederhana menunjukkan betapa dunia selebriti mampu menyedot kesadaran kolektif rakyat Indonesia.

Media Massa dan Selebritisme

Media massa dan dunia selebriti merupakan dua entitas yang tidak bisa dipisahkan, karena media massa dan selebritis memiliki relasi simbiosis mutualisme. Selebritismembutuhkan media massa dalam rangka sosialisasi dan aktualisasi kepada public, sedangkan media massa membutuhkan selebritis dalam konteks keuntungan capital. Sedangkan masyarakat umum, dalam konteks hubungan media massa dan selebritis ini merupakan konsumen atau paling tidak penikmat yang terus menerus mengkonsumsi dan menikmati produk seni dalam bentuk hiuburan sperti sinetron, infotainment, film, music, komedi dan lain-lain. Oleh karena masyarakat umum adalah konsumen dan penikmat, maka masyarakat umum dalam konteks ini menjadi passif. Hal inilah yang menjadi factor kerentanan (risk factor) bagi masyarakat umum menjadi sangat mudah diarahkan (sugestable) oleh kepntingan yang sesungguhnya tidak berpihak sama sekali pada konsumen dan penikmat tersebut (Hefner, 2000). Dalam konteks inilah berlaku apa yang disebut pola relasi yang eksploitatif-dominatif. Media massa dan selebritis menjadi pihak yang mendominasi dan mengeksploitasi, sedangkan yang pasti masyarakat umum menjadi pihak yang didominasi dan dieksploitasi. Untuk menggambarkan hal ini John F. Kenedy mengatakan bahwa “…barang siapa yang ingin menguasai dunia, maka kuasailah media massa…”. Fenomena selebritisme ini menegaskan bagaimana mekanisme kuasa itu dimainkan oleh media massa. Nalar masyarakat kemudian dikerdilkan menjadi nalar Hollywood, pop dan seleb, akibatnya masyarakat sedikitpun tidak diberikan celah untuk meilhat kehidupan selebritis secara proporsional.

Meletak Selebriti pada Proporsinya: Upaya Deferensiasi Diri

Ketika kita melihat dengan seksama proses audisi di Xfactor, The Voice Indonesia, IMB dan lain-lain, maka kita menemukan betapa selebritisme masyarakat Indonesia terutama kaum muda sangat mengiris hati. Bagaimana tidak, mereka yang seharusnya cocok jadi petani memaksakan diri menjadi selebritis, dengan suara pas-pasan bahkan minus mereka memaksakan diri untuk mengikuti audisi. Hal ini membuktikan bahwa bangsa Indonesia berada pada posisi latah atau gagap budaya (shock culture) akut. Padahal kalau mau menggunakan akal sehat dan pikiran yang jernih, selebritis sesungguhnya tidak lebih dari sebuah profesi layaknya profesi lain, seperti guru, dosen, petani, nelayan, karyawan dan lain-lain yang membutuhkan sebuah usaha keras dan proses panjang untuk menggapainya. Apapun bentuk profesi kalau dijalankan dengan penuh tanggung jawab dan rasa cinta akan profesi terkait, sesungguhnya menjadi kunci menuju kesuksesan. Semestinya kita menjadi individu dan komunitas yang proporsional dalam menilai potensi dan talenta yang dimiliki. Munculnya fenomena selebritisme ini sesungguhnya terjadi oleh karena tidak melihat diri dan lingkungan sekeliling menurut proporsi masing-masing. Jika selebritisme ini terus menerus terjadi, tidak menutup kemungkinan masyarakat Indonesia akan teralienasi dari diri dan lingkungannya. Jika ini yang terjadi, maka bangsa Indonesia akan selalu menjadi bangsa komuditas ekonomi empuk bagi Negara-negara maju. Bisa dibayangkan bagaimana kalau semua anak muda Indonesia menjadi selebritis. Dari uraian di atas tampak bahwa mayoritas anak muda Indonesia merindukan dirinya menjadi seleb, atau setidak-tidaknya berperilaku layaknya seleb yang bergelimang harta, berfoya-foya dan sebagainya. Tapi mungkinkah semua anak muda Indonesia menjadi selebritis? Dalam konteks inilah saya kira kita perlu merefleksikan diri agar kita bisa melihat fenomena selebritis dengan segala aspeknya secara proporsional dan penuh tanggung jawab, sehingga kita tidak masuk dalam kubangan psikologi massa - Jung menyebutnya – yang irrasional, sugestable, spontanity, emosional dan liar.

Kesimpulan

Akhirnya, kenikmatan, kepuasan dan kebahagiaan merupakan kecenderungan kodrati manuisa, namun itu tidak berarti membuat kita menjadi mudah terpola oleh kecenderungan global yang bersifat hedonostik dan konsumeris. Nilai-nilai global tersebut yang coba terus menerus direproduksioleh media massa menjadikan kita manusia kerdil yang terkooptasi pada kepentingan kapitalis. Gaya hidup seleb yang cenderung hedonistic dan konsumeris merupakan sebuah bentuk kapitalisasi nalar yang memanipulasi manusia menjadi organism yang berorientasi pada kenikmatan sesaat. Maka merefleksikan segala bentuk fenomena yang mengitari dan mencoba menkoersifikasi individualitas kita merupakan keharusan mendesak yang terus menerus harus kita lakukan sebagai bagian dari proses “menjadi” kita, bukan untuk “memiliki” (Fromm, 1976), karena nafsuuntuk “memiliki” hanya akan membuat manusia terjebak dalam kondisi tak berdaya dihadapan obyek. Sehingga kita mampu melihat dan menilai segala hal termasuk fenomena selebritis secara proporsional.


Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun