Mohon tunggu...
Akhir Fahruddin
Akhir Fahruddin Mohon Tunggu... Perawat - Occupational Health Nurse

Live in Saudi Arabia πŸ‡ΈπŸ‡¦

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Beda Tangis Doni Monardo dan Tracer Covid BNPB

30 Maret 2021   09:15 Diperbarui: 30 Maret 2021   09:28 465
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Doni Monardo Menerima Gelar Kehormatan | Foto : Kompas

Baru-baru ini kita menyaksikan sebuah acara pengukuhan Doctor Honoris Causa (HC) yang diberikan kepada Kepala Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) Letnan Jendral Doni Monardo. Acara yang penuh dengan nuansa akademis dan sakral itu menjadi tanda pengakuan Kepala BNPB terhadap upaya dan kontribusinya dalam mengelolah konflik serta program sumber daya alam dan lingkungan.

Pengakuan akan kerjanya menjadi dasar Institut Pertanian Bogor (IPB) menganugerahi gelar kehormatan tersebut. Sebagai abdi negara dan juga pemimpin di sebuah lembaga negara, Doni Monardo mengajarkan pada kita pentingnya kerja nyata dan menjadi role model dalam bekerja. Akan ada yang mengakui sebuah program itu berhasil dan baik jika dampak yang dirasakan untuk kepentingan yang lebih besar.

Dalam penerimaan gelar kehormatan, Doni Monardo menangis sambil membaca pidato ilmiahnya di depan para promotor sidang dan juga tamu undangan. Pertanggung jawaban dan kepercayaan adalah intisari tangisanya. Karena jika gelar kehormatan tersebut berbeda dengan kenyataan yang ada maka sejatinya gelar kehormatan itu hanya akan menjadi hasrat akademik yang belum selesai.

Tangisan Doni Monardo kemudian mengingatkan saya pada tangisan dan jeritan para tracer Covid 19 yang direkrut oleh BNPB yang notabene dipimpin Doni Monardo. Garda pelacakan kontak erat dan kasus konfirmasi positif ini direkrut untuk membantu kerja pemerintah memutus mata rantai penyebaran Covid 19. Namun, kerja mereka terkendala oleh lamanya birokrasi yang mengharuskan tenaga tracer bekerja ekstra.

Betapa tidak, kesepakatan awal perihal gaji malah berubah seiring waktu berjalan. Koordinasi dan rapat di tingkat atas minim realisasi. Muncul kemudian janji dan motivasi bahwa kerja menjadi relawan tidak harus mementingkan upah, bisa menggunakan dana pribadi sambil menunggu realisasi gaji yang telat hingga 2 bulan lamanya.

Realita ini memang benar adanya, dari komunikasi hingga surat menyurat dilakukan tenaga tracer untuk memastikan honor yang ada. Di Kota Bogor misalnya, teman-teman relawan mengirimkan surat yang ditanda tangani oleh seluruh tracer melalui Dinas Kesehatan untuk sekadar meminta kepastian akan hak mereka bekerja. Betapa sulitnya menembus birokrasi yang ada, lebih mudah meredam konflik dan melaksanakan program sumber daya lingkungan sebagaimana pencapaian kepala BNPB.

Mungkin ini subjektif, tapi sebagai life observer, penulis kemudian merasakan bagaimana kerja-kerja senyap para tenaga tracer yang setiap saat datang menemui para keluarga pasien untuk sekadar mengetuk hati mereka agar mau di rujuk dan di isolasi mandiri. Resiko terpapar mungkin tinggi, namun upaya mereka memastikan bahwa keluarga yang lain tidak tertular, rasanya menjadi nilai utama yang perlu diapresiasi.

Dalam hati mereka menjerit dan menangis, bukan karena tidak mampu bekerja, tapi mereka juga butuh biaya untuk melanjutkan kelangsungan hidup. Memang tidak tampak kesedihan pada rona wajahnya, tapi duka yang ada rasanya sangat menyentuh bagi yang memahami dan mengerti akan kinerja tenaga tracer.Β 

Tangisan memang menjadi bahasa indah bagaimana tubuh bercerita. Dia bisa menjadi bentuk kesedihan juga kegembiraan, tergantung dari esensi tangis yang terlihat. Namun, air yang mengalir dari tangisan adalah hakikat dari seluruh komponen emosional yang menyatu dan menjadi arti dari setiap proses hidup yang kita jalani. Jangan sampai kesedihan hanya menjadi isyarat dan verbalisme semata. Β  Β  Β 

Penulis hanya ingin mengetuk hati para pemangku kepentingan terutama pejabat ditingkat atas. Segala hal yang dilakukan mungkin baik tapi menggeser air mata kesedihan para tenaga tracer bisa jadi prioritas utama direalisasikannya hambatan gaji yang sudah dua bulan belum dibayarkan. Β 

Kepada Kepala BNPB, Dr (HC) Doni Monardo, penulis mengirimkan sinyal harapan akan realisasi janji dari pembayaran hak-hak tenaga tracer yang sudah dua bulan belum terbayarkan. Berilah mereka harapan bukan sekadar alasan administratif dan birokratif yang dapat memperpanjang duka para tracer.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun