SUNeducation
Akhirnya Bikin Obat Pakai Kecerdasan Buatan
Apakah ini salah satu dari "buah pemberdayaan manusia" oleh virus corona?. Bahwa  virus berukuran nanomikro itu ternyata banyak memberi pelajaran kepada kita. Pertarungan manusia dengan virus, memang telah berlangsung selama dekade-dekade manusia mulai memahami siapa musuh sebenarnya. Virus, kuman atau germs, meminjam  istilah Jarred Diamond, memang telah berperang  dengan manusia, dalam persaingan yang adil.
Ketika virus berada di atas angin, manusia menemukan anti-nya, begitu seterusnya. Kini bahkan kecerdasan buatan akan meningkatkan kemampuan manusia dalam "pertarungan" bertahan hidup (survival), melawan salah satu dari 3 musabab dinamika sejarah manusia ; Senjata (perang), Kuman (virus-pandemi dan seterusnya), dan Baja (sains-temuan).
Isomorphic Laboratories, usaha yang baru dirilis Induk perusahaan Google, Alphabet menggunakan kecerdasan buatan bernilai ratusan juta dollar, untuk meningkatkan performanya, salah satunya memprediksi struktur protein, bersama DeepMind yang berkolaborasi secara berkala, yang sebelumnya sukses membangun alat yang membantu mengidentifikasi obat-obatan jenis baru.
Selama bertahun-tahun, para ahli telah menunjuk artificial intelligence sebagai cara untuk membuat penemuan obat dan terapi kesehatan yang lebih cepat dan murah. Teknologi AI dapat membantu memindai melalui basis data molekul potensial untuk menemukan beberapa yang paling sesuai dengan target biologis tertentu.Â
Bahkan  proyek baru itu akan mencoba membangun model yang dapat memprediksi bagaimana obat akan berinteraksi dengan tubuh. Bukankah itu lompatan fantastik?
Bayangkan saja era ketika kita masih menggunakan mikroskop, yang membutuhkan waktu kita hampir sepenuh hidup kita. Atau mungkinkah temuan ini dapat memintas jalan, tidak lagi menggunakan binatang percobaan?.
Temuan itu nantinya akan dikembangkan atau dijual kepada perusahaan farmasi untuk memproduksinya secara massal, hingga sampai ke tangan para pasien yang membutuhkan. Â Karena proses mengembangkan dan menguji obat, bagaimanapun, bisa menjadi tantangan yang lebih berat daripada mencari tahu struktur protein itu sendiri.
Mengapa kederdasan buatan  harus "turun tangan", karena sebuah produk obat hasil dari sebuah riset bertahun dan bernilai jutaan dollar sekalipun, seringkali meskipun terlihat meyakinkan namun dalam uji praksisnya kepada hewan atau manusia, lebih dari 90 persen obat yang berhasil mencapai uji klinis akhirnya gagal menjadi obat. Sebuah realitas yang selama ini sangat tersembunyi.
Kolaborasi perusahaan raksasa itu akan menjadi kabar gembira, minimal mengurangi "kemacetan" atau hambatan dalam penelitian yang sering berbiaya mahal dan lama, serta menguras sumber daya.Â