Judul di atas terkesan wacana atau narasi yang sangat kompleks. Judul di atas sesungguhnya memang menggambarkan begitu rumitnya, bicara tentang minuman beralkohol (minol) dalam fenomena kehidupan sosial budaya masyarakat.Â
Hal ini karena minol mau tidak mau tidak bisa dilepaskan dari relasi kelembagaan yang terkait dengannya.Â
Saya ingin menyederhanakan bahasan saya, dengan bahasa yang sederhana, tapi saya sendiri kesulitan juga memformulasikan bahasa yang sederhana itu bagaimana, karena bicara minol memang agak rumit atau kompleks.Â
Tapi setidaknya cara pandang saya melihat minol memang tidak bisa dilepaskan dari unsur tripartit itu. Tiga kelembagaan ada di dalamnya, membentuk relasi dan saling terkait soal minol.Â
Baiklah, saya akan coba dengan bahasa yang semudah mungkin dipahami. Begini, bicara minol itu bukan semata urusan individu masyarakat, tetapi ini menyangkut soal orang banyak.Â
Oleh karena itu, dimana-mana, soal minol selalu saja tidak bisa dilepaskan dari faktor kelembagaan dan regulasi atau aturan soal itu, apalagi di Indonesia.Â
Indonesia cukup kompleks soal minol ini, karena masyarakat yang majemuk dan latar budaya yang berbeda-beda juga agama, sehingga memang dalam penerapan sebuah aturan, setidaknya dapat merangkul aspek-aspek kemajemukan itu.Â
Saya ingin memulai soal bahasan minol dalam pandangan budaya. Beberapa waktu lalu, fenomena soal aturan minol itu sudah pernah diangkat ke publik. Respon masyarakat juga sangat beraneka ragam, pro kontra terjadi, silang pendapat berdasarkan narasi kebenaran masing-masing.Â
Yang jelas, soal minol memang bukan urusan gampang, seperti yang sempat saya singgung di awal ada fenomena yang saling berkelindan secara kelembagaan, baik kelembagaan agama, budaya maupun pemerintah.Â
Relasi agama, pemerintah dan budaya, saling terkait soal minol. Ini yang akan saya ulas dengan perlahan, supaya tidak ada kalimat yang menimbulkan kontroversi baru. Ini bukan soal remeh temeh, ini soal kebangsaan, soal Keindonesiaan.Â
Pertama, dalam konteks relasi budaya