Mohon tunggu...
Wuri Handoko
Wuri Handoko Mohon Tunggu... Administrasi - Peneliti dan Penikmat Kopi

Arkeolog, Peneliti, Belajar Menulis Fiksi

Selanjutnya

Tutup

Nature Artikel Utama FEATURED

Banjir Sudah dari Dulu, Mitigasi Mestinya Belajar dari Pengalaman Masa Lalu

4 Oktober 2020   20:49 Diperbarui: 5 April 2021   06:57 2522
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Macet Karena Banjir -- Jalan-jalan di Kawasan Grogol dan Pluit di daerah Penjaringan, Jakarta Utara, macet total pada Rabu siang, 16 Januari 1985, karena tergenang air yang merendam beberapa bagian Ibukota sejak Selasa akibat hujan yang mengguyur Jakarta. (KOMPAS/JB SURATNO)

Dibuatnya kanal, oleh leluhur masyarakat di Pulau Lakor, Kabupaten Maluku Barat Daya itu, tentu saja ada maksud. Menjebak musuh, yaitu suku-suku lain pada masa perang suku di masa lampau. Juga melindungi kampung dari ancaman banjir.

Betapapun sederhana dan kecilnya kampung masa lampau dibandingkan sekarang, tapi setidaknya mereka sudah memiliki kecerdasan lokal (local genius), juga kearifan lokal (local wisdom) dalam menata lingkungannya. Juga kecerdasan lokal dalam mitigasi bencana (banjir).

Kearifan Lokal Menata, Menjaga, dan Melestarikan Lingkungan

Dalam dunia sekarang yang lebih kompleks, sebenarnya, kearifan lokal masa lampau, dalam konteks ruang dan waktu bisa diadaptasi, bisa diadopsi, jika saja kita melihat masa lampau, sebagai sebuah pelajaran berharaga dan penting. 

Tidak ada satupun pelajaran dari masa lampau, yang tidak bisa diambil hikmahnya. Cara berpikir masyarakat kekinian, yang meremehkan masa lalu, adalah ciri masyarakat yang tidak memiliki jati diri. 

Jika bicara soal kearifan lokal tentang menjaga dan melestarikan lingkungan, banyak contoh yang bisa dibeberkan pada komunitas-komunitas adat di Indonesia. Saya mengambil satu dua contoh saja. Jauh sebelum ada kebijakan atau aturan pemerintah soal hutan lindung ataupun cagar alam, masyarakat sejak dulu kala memiliki mekanisme lokal seperti itu. 

Di Maluku, di Pulau Seram, ada istilah Hutan Larangan, di Seram Bagian Barat. Meskipun informasi yang sampai kepada kita, bahwa hutan larangan, tidak boleh dimasuki oleh siapapun, karena untuk di hutan itu, ada sebuah tempat di dalam hutan melakukan ritual Kakehan (ritual masyarakat suku asli di Pulau Seram). Namun sebenarnya, ada pesan tersirat, bahwa hutan tidak boleh dirambah, apalagi di rusak.

Karena dengan merusak hutan, apalagi menebang pephononan di dalam hiutan larangan itu, berakibat banjir untuk penduduk kampung. Pesan tersirat itu bersifat simbolik, berhubungan dengan ritus.

Namun secara kontekstual, hutan larangan itu adalah sebuah mekanisme, cara masyarakat melindungi hutan juga sekaligus melindungi kehidupan manusia. Salah satunya dari ancaman banjir. 

Demikian, manusia yang hidup sekarang ini, dalam kondisi yang lebih kompleks, tetap harus berlajar dari masa lampau, belajar dari kearifan masa lalu dalam membangun kearifan lingkungan menjaga dunia kampung, dunia kota yang sekaligus makrokosmos tempat manusia berpijak dan hidup. Lagi-lagi tentang keseimbangan kosmos. Keseimbangan antara manusia dengan alam dan Tuhannya. 

Sekian

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Nature Selengkapnya
Lihat Nature Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun