Mohon tunggu...
Wulan Maulani
Wulan Maulani Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa

Merupakan mahasiswa yang menulis untuk memenuhi kebutuhan tugas

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Fenomena Olimpiade Sains sebagai Ajang Mencari Uang

28 Juni 2022   17:56 Diperbarui: 28 Juni 2022   18:00 3818
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pendidikan. Sumber ilustrasi: PEXELS/McElspeth

Meraih sebuah prestasi dari sebuah kompetisi merupakan impian sebagian besar siswa di Indonesia. Didukung dengan stigma masyarakat bahwa siswa yang sering menang lomba ataupun kompetisi merupakan siswa yang pintar, tentu memacu semangat siswa untuk mendapatkan hal tersebut. Banyak hal mereka upayakan untuk mencapainya, seperti les siang hingga malam, membeli berbagai buku penunjang olimpiade, bahkan hingga yang buruk seperti pre order medali. Fenomena ini tentu dipandang sebagai ladang uang oleh pihak yang tidak bertanggungjawab. Dengan diiming-imingi sertifikat juara, banyak siswa tertipu dan rela membayar lebih untuk mendapatkan label juara.

Pendaftaran SNMPTN yang dapat menyertakan sertifikat prestasi merupakan salah satu alasan siswa berlomba-lomba untuk mengikuti sebuah olimpiade. 

Beberapa oknum tentu memanfaatkan momen ini untuk memperoleh uang. Mereka mengadakan olimpiade sains dengan jumlah juara yang tidak masuk akal. Dengan sistem pre order medali, peserta dapat memperoleh label juara sesuai dengan jumlah uang yang dibayarkan. Tentunya hal ini menyebabkan jumlah juara yang tidak masuk akal. Bahkan jumlah juara melebihi separuh dari total peserta. 

Puncaknya saat pandemi, siswa berbondong-bondong menyertakan sertifikat juara dari olimpiade yang berasal dari lembaga abal-abal. Bagi siswa yang tidak tahu, tentu mereka berharap agar sertifikat tersebut dapat membantu mereka agar diterima di PTN yang diharapkan. Selain itu, hal tersebut juga memberikan harapan bagi orang tua siswa karena mereka beranggapan bahwa anak mereka berprestasi karena telah memperoleh juara. Yang tidak diketahui bahwa tidak semua sertifikat dapat membantu siswa agar lolos SNMPTN. 

Hal ini bahkan telah disinggung oleh Pusat Prestasi Nasional (Puspresnas) pada salah satu unggahan di akun Instagram Puspresnas. Disebutkan bahwa siswa harus jujur dengan tidak menggunakan joki, mengikuti pre order medali, dan menggunakan jasa pembuatan sertifikat palsu.

Lalu bagaimana cara kita membedakan olimpiade sains yang patut diikuti ataupun tidak? Mengutip dari akun Facebook Ronald Widjojo, terdapat beberapa hal yang dapat kita perhatikan. Lomba yang lebih prestisius biasanya membatasi jumlah peserta yang dikirimkan, selain itu jumlah juara yang dihasilkan sedikit dibanding jumlah peserta. Kualitas dan komposisi soal yang diberikan juga merupakan tolok ukur penting. 

Kualitas soal dapat dibagi menjadi soal yang berdasarkan materi sekolah atau biasa disebut soal rutin, soal bukan materi sekolah namun masih mudah, soal yang membutuhkan ide kreatif, dan soal acak yang tidak layak diperlombakan. Untuk komposisi soal bergantung pada jenis soal dan waktu yang disediakan. Untuk soal berupa pilihan ganda akan diberikan waktu lebih singkat dibandingkan soal jenis isian singkat maupun esai. Yang terakhir yang itu bentuk pemberian juara. 

Untuk lomba dengan soal rutin hadiah akan diberikan untuk juara satu hingga tiga saja karena anggapan bahwa sebagian besar siswa mampu mengerjakan karena berdasar pada materi sekolah. Untuk olimpiade dengan soal non-rutin akan diberikan juara dengan total sekian persen dari jumlah peserta karena dari juara.

Hal aneh yang terjadi dengan olimpiade abal-abal yang diadakan oleh pihak tidak bertanggungjawab ini tentu tidak sesuai dengan kondisi umum olimpiade di Indonesia yang telah ada sejak dua dekade lalu. 

Pihak ini akan menggunakan soal yang sama dengan berulang-ulang. Soal ini pun didapat dengan mengambil soal OSN yang merupakan ajang olimpiade resmi yang diadakan oleh Kemdikbud sejak tahun 2002. Dengan anggapan bahwa soal OSN telah beredar dengan pembahasannya di internet, maka seharusnya hanya memperebutkan tiga juara saja. 

Akan tetapi yang terjadi adalah jumlah juara dengan jumlah hampir 90% dari total peserta. Hal ini tentu memunculkan false sense of achievement pada siswa yang namanya tersebut sebagai juara. Belum lagi dengan adanya sistem pre order medali sehingga siswa tidak perlu repot-repot berpikir keras untuk meraih gelar juara. Jika hal ini berlanjut tentu akan merusak mental penerus bangsa.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun