Mohon tunggu...
Wida Semito
Wida Semito Mohon Tunggu... -

Work for a cause NOT for applause. Live life to express NOT to impress

Selanjutnya

Tutup

Politik

#Salam2Jari: Simbol Perlawanan dan Harapan untuk Indonesia yang Lebih Baik

6 Juli 2014   05:33 Diperbarui: 18 Juni 2015   07:18 195
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
14052643111497514248

Pemilihan Umum Indonesia pada 1955 yang didaku sebagai pemilu Indonesia yang paling demokratis karena melibatkan partisipasi masyarakat Indonesia secara langsung, mungkin dalam sejarah baru bangsa Indonesia  baru pemilu presiden kali inilah [Pilpres 2014] menjadi sebenar milik seluruh rakyat bangsa ini.

Saya bukan ahli ilmu politik juga bukan pengamat politik, tapi sebagai bagian dari masyarakat Indonesia yang mewakili kelompok muda [meski tidak juga bisa dibilang masih muda usia], melihat gelombang dukungan bagi pasangan calon presiden [Capres] Joko Widodo dan Jusuf Kalla yang sambung menyambung bergulung menjadi satu kekuatan masive menuju Indonesia baru yang akan ditentukan dalam hitungan tiga hari kedepan, membuat saya takjub dan gemetar dengan kekuatan yang dimiliki oleh gelombang kekuatan massa tersebut.

Tanpa di komando, tanpa diperintah, semua lapisan masyarakat dari berbagi kelas sosial dan pekerja bergerak secara sukarela menuju satu titik; Jokowi-JK, termasuk saya sendiri yang memutuskan untuk #AkhirnyaMemilihJokowi dan menjadi bagian dari gelombang tersebut, meski pada awalnya saya apolitis dan apatis karena melihat fakta bahwa kontestasi politik ini hanya diikuti dua capres saja yang sebenarnya tidak baik untuk iklim demokrasi.

Gaung #Salam2Jari pun kini tak hanya jadi trending topic worldwide di sosial media tapi juga telah menjadi semacam salam persahabatan yang menyatukan orang-orang di seluruh belahan dunia yang bahkan saling kenal dan bertemu langsung pun  tidak.

Sebagai bagian dari perubahan sosial masyarakat, saya melihat #Salam2Jari kini telah menjadi sebuah simbol; simbol perlawanan rakyat Indonesia, sebuah perlawanan tanpa kekerasan demi masa depan Indonesia yang lebih baik dan sebuah perlawanan dari kembalinya sebuah rezim tiran yang di khawatirkan akan terulang lagi di bumi pertiwi ini jika salah satu capres memenangkan pemilu presiden kali ini.

Meski tidak langsung merasakan “kekejian” rezim orde baru yang tiran di masa lalu, tapi yang paling nyata adalah saya ingat betul adalah setiap kali musim pemilu tiba, maka kalimat yang sama akan saya dengar dari ibu saya ketika sibuk “ngerumpi” dengan tetangga di dapur  rumah kami, jika teman beliau bertanya: “mba, isukan pemilu arek nyoblos saha?” [mba, besok pemilu mau nyoblos/milih siapa?] dan ibu saya akan selalu menjawab: “ah, henteu ngaruh atuh buk, arek nyoblos saha oge, engges pasti anu menang pasti GOLKAR”. [ah tidak pengaruh buk mau milih siapapun, karena yang menang sudah pasti yaitu GOLKAR].

Karena belasan tahun saya mendengar percakapan dan jawaban yang sama di ulang-ulang setiap kali menjelang pemilu, maka ketika saya mendapatkan KTP pada ulang tahun saya yang ke-17, saya putuskan untuk tidak pernah pergi ke bilik suara ketika pemilu tiba, karena tanpa sumbangan suara saya pun, GOLKAR partai pemerintah yang berkuasa kala itu pasti akan menang, jadi untuk apa saya memilih, tidak ada gunanya, begitu pikir saya.

Tapi ketika reformasi bergulir, saya putuskan untuk ikut terlibat dalam pemilu karena saya yakin pasti ada perubahan pasca kejatuhan rezim Soeharto dan orde barunya  dan akhirnya saya pun ikut memilih pada pilpres tahun 2009 lalu, itu pun dengan sangat sulit saya terpaksa memilih yang baik dari yang terburuk, karena lagi-lagi rekam jejak para capres dan cawapresnya menurut standar saya masih punya beban masa lalu yang belum di selesaikan.

Kini 16 tahun sudah pasca reformasi, ketika kontestasi politik menyajikan hanya dua pilihan capres yaitu Joko Widodo dan Prabowo Subianto, lagi-lagi saya mengeluh kenapa hanya dua kontestan saja yang “tersaji”, tapi lagi-lagi saya pun tak kuasa untuk menolaknya meski sebagai dampaknya telah terjadi polarisasi dari masing-masing  pendukung capres.

Tapi di balik semua kesinisan dan “kesuraman” yang saya rasakan, saya merasakan sebuah asa positif yang semakin lama semakin menguat baik dari anak muda, orang tua bahkan anak-anak pun tak kalah ikut menyebarkan virus positif ini.  “Salam2Jari kak!” begitu teriak mereka sambil berlari melintas dan senyum mengembang dialamatkan pada saya dan saya hanya bisa membalas dengan lambaian tangan, senyum dan geleng-geleng kepala salut dan takjub melihat militansi mereka, padahal usia mereka masih kecil saja yang bahkan mereka pun tidak tahu apa arti demokrasi dan pemilu jika kedua hal itu kita tanya pada mereka. Yang mereka tahu pasti salam dua jari membawa mereka kebahagiaan karena mereka melihat orang-orang dewasa di sekitar mereka selalu meneriakkan kalimat itu dengan suka cita dan senyum mengembang dan gambaran itulah yang mereka tirukan lagi ketika bertemu dengan orang baru.

Atau yang baru saja saya alami ketika sore ini [5/7] tidak bisa hadir dalam Konser Salam2jari di stadion GBK Senayan dan hanya memonitoring acara tersebut dari layar kaca dan menulis update status di akun sosial media, tiba-tiba ada notifikasi dari seseorang yang bahkan akunnya tidak saya follow:  “Salam kami dr front panggung, #Salam2Jari”, demikian tulisnya. Saya terhenyak sesaat dan merasa: “WOW!, kok gue di sapa, dikenal?!, emang siapa gue, artis bukan, politikus juga bukan”. Dari caranya menyapa saya merasakan sebuah persahabatan yang di tawarkan dengan tulus tanpa saya harus membalasnya kembali dan lagi-lagi ikatan persaudaraan yang menurut saya “aneh” bin ajaib ini di tautkan oleh sebuah salam; #Salam2Jari.

Jadi, saya rasa tidak terlalu berlebihan jika saya katakan bahwa #Salam2Jari ini telah menjadi sebuah simbol, simbol perlawanan tanpa kekerasan saja yang dilakukan oleh seluruh lapisan masyarakat di akar rumput, juga sebuah simbol harapan, harapan akan masa depan Indonesia yang lebih cerah jika di pimpin oleh pemimpin yang sederhana, bekerja, membuka ruang dialog dan memberi contoh ketimbang bermonolog dan instruksi ala militer yang “haram” untuk di bantah atau poporan senjata.

Dan karena saya pun tidak inginkan rezim tiran orde baru kemmbali lagi dengan mengambil bentuknya yang baru, saya akan ikut dalam arus perubahan ini, saya akan ikut melawan dengan cara datang pada TPS pada 9 Juli besok  dan memberikan suara saya pada calon presiden pilihan saya yang sosoknya mengutip kalimat wartawan senior Goenawan Muhammad adalah: “Dia orang yang kita bebani harapan dan berjalan dengan dianiaya” dan yang rekam jejaknya – paling tidak – untuk saat ini beliau tidak “berlumur darah” dan punya beban masa lalu yang belum di selesaikan.

Namun, setelah pesta demokrasi ini usai, dan sekiranya capres pilihan saya itu menang, saya pastikan untuk menarik dukungan dan akan mengambil posisi untuk mengawasi semua sumpah jabatan yang beliau ikrarkan, demi untuk Indonesia tercinta.[]

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun