Mohon tunggu...
Wrenges Widyastuti
Wrenges Widyastuti Mohon Tunggu... profesional -

ingin bisa terus menulis

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Guru DKI dalam Temuan Yayasan Cahaya Guru

3 Mei 2013   08:57 Diperbarui: 24 Juni 2015   14:12 230
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gadget. Sumber ilustrasi: PEXELS/ThisIsEngineering

"Mereka kami inapkan karena ujian di SMP 260 Pulau Harapan. Ini agar mereka tidak perlu berlama-lama naik kapal dari Sabira ke Harapan," demikian Kepala Suku Dinas Pendidikan Kepulauan Seribu, Bowo Irianto, mengomentari informasi adanya sembilan siswa SMP Satu Atap Pulau Sabira, Kabupaten Kepulauan Seribu, yang diinapkan di rumah dinas guru di Pulau Harapan karena sekolah mereka tidak melaksanakan ujian nasional sendiri (www.tempo.co.id tanggal 23 April 2013).

Kisah yang mirip itu sebelumnya kami dengar saat mengundang para guru SMP- SMA Kabupaten Kepulauan Seribu dalam pelatihan pengelolaan kelas Yayasan Cahaya Guru (YCG). Acara sempat tertunda beberapa kali karena cuaca. Sulit menempuh perjalanan dari dan ke Kepulauan Seribu saat musim angin tiba. Dari pulau Sabira, guru-guru perlu berperahu selama sembilan jam untuk mencapai Muara Angke, Jakarta Utara, sebelum meneruskan perjalanan ke tempat pelatihan. Kondisi yang tak jauh berbeda juga kami alami saat membantu penguatan guru dalam persiapan ujian nasional. Perjalanan terombang-ambing ombak, menjadi cerita penyemarak obrolan kami setibanya disana.

Seperti juga guru-guru lain di wilayah DKI Jakarta, para guru Kepulauan Seribu cukup aktif turut serta dalam berbagai kegiatan YCG. Dalam kurun waktu lebih dari enam tahun sejak 2006, kami telah melibatkan lebih dari 4000 guru DKI Jakarta dalam berbagai kegiatan pelatihan, penambahan sarana pengajaran, pemeriksaan kesehatan, dan apresiasi seni. Guru-guru tersebut utamanya berasal dari sekolah yang kurang beruntung, 80% diantaranya adalah Sekolah Dasar Negeri dan Madrasah Ibtidaiyah. Lebih dari 70% peserta adalah guru perempuan. Terkait status kepegawaian, YCG berusaha meminta kepada pihak sekolah untuk mengirimkan guru-guru honorer yang ada di masing-masing sekolah. Keberpihakan kepada sekolah kurang beruntung dan guru honorer merupakan fokus kegiatan kami.

Untuk mendapatkan gambaran kondisi sekolah, para peserta diminta untuk mengisi data profil sekolah. Dari data yang masuk, untuk wilayah DKI Jakarta saat ini 100% sudah memiliki sambungan listrik dan air bersih. Sebagian besar sekolah juga telah memiliki pojok baca semacam perpustakaan dengan koleksi buku sekitar 200 judul, serta memiliki halaman untuk bermain/berolahraga. Dengan demikian secara umum kondisi sekolah di DKI Jakarta jauh lebih baik bila dibandingkan dengan kondisi sekolah di di wilayah lain.

Beralih ke guru, berdasarkan pengamatan awal yang berlanjut dengan pemahaman setelah bertemu langsung dengan para peserta, ditemukan berapa issue yang perlu menjadi perhatian, khususnya yang berkaitan dengan “Status, Profesionalitas dan Penempatan Guru”, “Kekerasan, tawuran dan bully”, “Bencana” dan “Keragaman”. Temuan ini mendasari pilihan kegiatan yang dilakukan oleh YCG di DKI Jakarta.

Sehubungan dengan status guru, terdapat tiga hal yang segera memerlukan penyelesaian dari para pengambil kebijakan, yaitu :pengangkatan guru serta kesenjanganpenghasilan dan perolehankesempatanpengembangan. Ketiga hal tersebut berkaitan dengan status guru honorer di wilayah DKI Jakarta yang saat ini berjumlah lebih dari 7000 orang.

Di masing-masing sekolah, para guru honorer pada dasarnya melakukan tugas sama dengan guru berstatus pegawai negeri sipil (PNS). Sebagian dari mereka bahkan telah bertugas selama lebih dari 10 tahun. Sehingga di luar status kepegawaian, perbedaan itu tidak tampak. Namun bila melihat jumlah penghasilan, terasa perbedaan yang mengusik rasa keadilan. Guru honorer menerima sekitar Rp 1 juta per bulan, sementara guru PNS yang telah bersertifikasi bisa menerima tujuh kali lipat jumlah itu.

Masih tentang guru honorer, tak hanya dalam penghasilan diskriminasi dirasakan. Dari berbagai kegiatan kami mengetahui bahwa sekolah lebih mengutamakan guru PNS untuk mendapatkan kesempatan-kesempatan pelatihan. Alasan yang terungkap, para guru honorer dipandang sebagai tenaga temporer yang bisa saja sewaktu-waktu alih profesi, sehingga pelatihan lebih baik diikuti guru PNS. Alasan menjadi terkesan dicari-cari jika menilik masa pengabdian guru honorer yang rata-rata lebih dari 5 tahun.

Selanjutnya mengenai profesionalitas guru, YCG mendapati bahwa tidak terdapat adanya ‘strategipengembangan’ yang didasarkan pada data kebutuhanpengembangan guru, yang disusun dengan melibatkan pihak sekolah. Akibatnya strategi pengembangan menjadi tidak dipahami para pemangku kepentingan, khususnya guru dan sekolah. Pihak lain yang ingin terlibat pun menjadi tidak dapat membantu secara optimal.

Khusus mengenai kompetensi guru yang mencakup empat kompetensi yaitu pedagogik, kepribadian, sosial dan profesional, kami menemukan bahwa:

-Guru masih memerlukan peningkatan kompetensi pedagogik dalam penguatan teori dan falsafah pendidikan, tambahan referensi, pengetahuan dasar perkembangan anak berdasarkan usia, serta teori belajar. Guru tampak masih sangat tergantung kepada buku teks serta kurang memiliki kesempatan berbagi dengan guru inspiratif.

-Dalam kompetensi kepribadian telah terlihat etos kerja dan disiplin, namun kami menemukan bahwa kebudayaan tidak menjadi prioritas.

-Terdapat issue keragaman dalam kompetensi sosial yang mencakup:Agama/ kepercayaan, Anak berkekhususan/sekolah inklusi.

-Penguasaan pola pikir dan materi keilmuan serta tindakan reflektif merupakan kondisi yang masih perlu ditingkatkan dalam kompetensi profesionalitas, karena guru tampak lebih banyak fokus dalam menyelesaikan materi ajar.

Kami mendapati bahwa lebih dari 80% peserta belum pernah mendapatkan pelatihan mengacu pada potensi lingkungan dan hubungannya dengan kurikulum.

Berkaitan dengan penempatan guru, kami menemukan beberapa kasus ketidaksesuaian antara latar belakang pengalaman dan pendidikan guru dengan penugasannya. Misalnya, ada guru lulusan pendidikan Biologi yang diminta mengajar bahasa Inggris, juga guru berlatar pendidikan dasar diminta mengajar Matematika SMP karena sekolahnya menjadi SMP satu atap. Kami melihat bahwa strategi penempatan tidak diinformasikan serta tidak melibatkan sekolah dalam penentuannya.

Hal lain yang perlu menjadi perhatian terkait dengan kekerasan, tawuran dan bully. Seperti kita ketahui, keadaan ini telah memakan banyak korban karena tidak tertangani dengan tuntas. Kami melihat bahwa strategi penanganan belumdiinformasikan dengan baik. Selain itu pelatihan pemahaman kekerasan dirasakan masih kurang menjangkau seluruh sekolah yang memerlukan.

Sehubungan dengan kondisi rawan bencana di wilayah DKI Jakarta khususnya untuk banjir dan kebakaran, kami menemukan bahwa belum terdapat data sekolah rawan bencana yang komprehensif. Dokumentasi terhadap pengalaman sekolah dalam menghadapi dan melakukan mitigasi bencana sangat diperlukan sebagai salah satu dasar pengembangan strategi mengatasi bencana tersebut.

Mengenai issue keragaman, beberapa hal yang kami tangkap adalah berkaitan dengan agama/kepercayaan, pemahaman dan pengelolaan anak berkebutuhan khusus /sekolah inklusi, serta pemahaman mengenai ibukota.

Terlihat kecenderungan penggunaan ritual agamamayoritas dalam berbagai kegiatan di sekolah negeri. Dalam praktik yang paling sederhana, misalnya penggunaan seragam di hari-hari tertentu. Di beberapa sekolah negeri muncul keharusan menggunakan jilbab dan baju koko pada hari Jumat. Bila keadaan ini dibiarkan, hal ini dapat mempengaruhi jumlah siswa pemeluk agama minoritas untuk belajar di sekolah negeri, yang berarti mengurangi kesempatan para siswa mendapatkan pengalaman keragaman. Contoh lain terkait ketersediaan guru pengampu mata pelajaran agama sesuai agama yang dianut murid, serta ketersediaan tempat ibadah sesuai agama guru dan murid.

Kisah yang mengawali tulisan ini menggambarkan betapa permasalahan pendidikan tidak hanya berkaitan dengan sekolah (guru, gedung, siswa, kurikulum), namun juga berkaitan dengan hal lain seperti kondisi lingkungan (alam, masyarakat). DKI Jakarta bukan hanya Kebayoran, Rawamangun, Menteng, tetapi juga Condet, Srengseng, Jelambar dan daerah lain, termasuk Kepulauan Seribu tentunya.Pemetaan yang jelas terhadap masalah pendidikan yang terjadi di masing-masing tempat akan dapat menjadi dasar pengambilan keputusan yang tepat.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun