Mohon tunggu...
Wiwin Zein
Wiwin Zein Mohon Tunggu... Freelancer - Wisdom Lover

Tinggal di Cianjur

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Kursus Pranikah, Mungkinkah?

18 November 2019   20:41 Diperbarui: 19 November 2019   22:56 126
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Mulai tahun depan, Menteri Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan (Menko PMK) Muhadjir Effendy berencana menerapkan program kursus pranikah. Kursus pranikah yang dimaksudkan oleh Menko PMK tersebut bukanlah sertifikasi, melainkan semacam pembekalan bagi mereka yang hendak melangsungkan pernikahan. Di akhir kegiatan mereka akan memperoleh sertifikat. Kegiatan tersebut rencananya akan dilaksanakan melalui dua model yakni online dan offline.

Apa yang diwacanakan dan direncanakan oleh Menko PMK itu suatu hal yang positif. Sebab hal tersebut akan menambah dan meningkatkan pengetahuan, wawasan, dan pemahaman calon pengantin mengenai masalah pernikahan dan keluarga. Dengan bertambah dan meningkatnya pengetahuan, wawasan, dan pemahaman calon pengantin mengenai masalah pernikahan dan keluarga, dengan sendirinya akan meningkatkan kualitas keluarga. Sedangkan kualitas keluarga merupakan sesuatu yang sangat penting bagi sebuah bangsa. Karena kualitas keluarga adalah salah satu indikator kualitas sebuah bangsa.

Kursus pranikah yang diwacanakan dan direncanakan oleh Menko PMK bukan sesuatu yang orisinil. Sebab beberapa pihak, terutama kementerian agama, sudah sejak lama menyelenggarakannya melalui KUA-KUA (Kantor Urusan Agama), biasanya seminggu sekali. Dasar penyelenggaraan kursus pranikah di kementerian agama dimaksud, antara lain Peraturan Direktur Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam Nomor : dj.ii/542 Tahun 2013 Tentang Pedoman Penyelenggaraan Kursus Pranikah dan Keputusan Direktur Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam Nomor 373 Tahun 2017 Tentang Petunjuk Teknis Bimbingan Perkawinan Bagi Calon Pengantin. 

Dalam Peraturan Direktur Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam tersebut, disebutkan antara lain mengenai waktu, materi, metode, dan narasumber pelaksanaan kegiatan kursus pranikah. Waktu penyelenggaraan kursus pranikah ditentukan minimal 16 jam. Materi kursus pranikah terdiri dari kelompok dasar, kelompok inti dan kelompok penunjang. Materi kursus pranikah dapat diberikan dengan metode ceramah, diskusi, tanya jawab, study kasus (simulasi) dan penugasan yang pelaksanaannya dapat disesuaikan dengan kondisi dan kebutuhan di lapangan. Sedangkan narasumber yang memberikan materi dalam kegiatan kursus pranikah adalah konsultan keluarga, tokoh agama, psikolog, dan profesional dibidangnya.

Banyak penelitian telah dilakukan terhadap kegiatan kursus pranikah yang diselenggarakan oleh kementerian agama tersebut. Seperti penelitian skripsi/Tesis yang dilakukan oleh Mufidatun Chasanah (UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, 2018), Elsi Nurfajri (UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, 2017), Nurjannah (UIN Sumatera Utara, 2019), dan Dedi Nasrudin (UIN Sunan Gunung  Djati Bandung, 2017). Diantara hasil penelitian mereka, ditemukan ada beberapa kendala dalam penyelenggaraan kegiatan kursus pranikah, antara lain faktor kehadiran calon pengantin, sarana dan  prasarana, serta anggaran. Faktor kehadiran calon pengantin menyangkut sulitnya para calon pengantin bisa hadir karena terikat pekerjaan yang tidak bisa ditinggalkan misalnya. Faktor sarana dan prasarana menyangkut kecukupan tempat. Sedangkan faktor anggaran menyangkut ketiadaan anggaran bagi penyelenggaraan kursus pranikah.

Kembali kepada wacana dan rencana kursus pranikah Menko PMK Muhadjir Effendy. Sebagaimana diketahui, kursus pranikah yang digagasnya "mengadopsi" durasi waktu kursus pranikah yang biasa diselengggarakan di kalangan Katolik yakni selama tiga bulan. Waktu tiga bulan bukanlah waktu yang sebentar bagi mereka yang mau menikah. Dalam beberapa kasus bahkan tidak sedikit pasangan yang baru saling kenal beberapa hari atau minggu saja, tidak sampai tiga bulan langsung naik ke pelaminan. Bagaimana dengan pasangan seperti itu ?

Ada beberapa masalah yang perlu dijadikan bahan pemikiran dalam wacana dan rencana kursus pranikah Menko PMK Muhadjir Effendy. Sebagai bahan perbandingan sederhananya adalah kursus pranikah yang biasa diselenggarakan oleh kementerian agama. Seperti temuan beberapa penelitian di atas bahwa kursus pranikah yang sudah berjalan di kementerian agama, ditemukan ada beberapa kendala. Antara lain faktor kehadiran calon pengantin, faktor sarana dan prasarana, dan faktor anggaran.

Pertama, faktor kehadiran calon pengantin. Menghadirkan calon pengantin untuk mengikuti kursus pranikah bukan hal yang mudah. Para calon pengantin rata-rata berusia produktif. Mereka memiliki aktifitas rutin, seperti bekerja misalnya. Untuk bisa hadir dalam kegiatan kursus pranikah, mereka tentu harus mengambil waktu bekerja. Masalahnya tidak semua tempat mereka bekerja memberi izin. Banyak perusahaan memiliki aturan yang ketat, tidak memberi izin sama sekali kepada karyawannya untuk mengikuti kursus pranikah. Itu yang terjadi pada kegiatan kursus pranikah yang telah diselenggarakan oleh kementerian agama. Padahal penyelenggaraan kursus pranikah hanya 16 jam saja. Apalagi jika kegiatan kursus pranikah sampai tiga bulan. Ini tentu menjadi sebuah kesulitan tersendiri bagi para calon pengantin dan penyelenggara kegiatan kursus pranikah sendiri.

Kedua, faktor sarana dan prasarana. Kegiatan kursus pranikah yang telah berjalan, yang diselenggarakan oleh kementerian agama biasa menggunakan aula balai nikah KUA. Itu juga kurang efektif sebab kapasitas aula balai nikah terkadang tidak cukup untuk menampung para calon pengantin sebagai peserta  kursus pranikah. Selain itu, tidak jarang kegiatan kursus pranikah bentrok dengan kegiatan lain seperti rapat misalnya. Padahal kegiatan kursus pranikah diselenggarakan hanya satu kali dalam seminggu. Bagaimana pula jika kegiatan kursus pranikah diselenggarakan secara "permanen" selama tiga bulan. Tempatnya di mana ?  Ini tentu harus dipikirkan secara matang.

Ketiga, faktor anggaran. Kegiatan kursus pranikah yang telah berjalan, yang diselenggarakan oleh kementerian agama tidak disertai anggaran sama sekali. Padahal tertera dengan jelas dalam Pasal 5 Peraturan Direktur Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam Nomor : dj.ii/542 Tahun 2013, bahwa pembiayaan penyelenggaraan Kursus Pranikah bersumber dari APBN dan APBD. Kecuali untuk kegiatan kursus pranikah yang diselenggarakan secara insidentil, yang disebut dengan "Bimbingan Perkawinan" memang ada anggarannya dari APBN. Masalah anggaran mungkin bukan masalah yang tidak terlalu jadi masalah, sebagaimana halnya faktor pertama dan kedua. Masalah anggaran relatif bisa dikondisikan.

Dengan begitu, apakah kegiatan kursus pranikah yang diwacanakan dan direncanakan oleh Menko PMK mungkin untuk dijalankan ? Bicara kemungkinan tentu saja mungkin. Masalahnya adalah bisa tidak kegiatan kursus pranikah tersebut mengeliminir beberapa kendala seperti di atas ? Selain itu, apakah kegiatan kursus pranikah tersebut jadi beban bagi masyarakat atau tidak ? Sebab menurut Menko PMK, mereka yang belum memiliki sertifikat belum boleh menikah. Ini jelas memberatkan bagi masyarakat. Kalau lah keinginan Menko PMK dipaksakan, jelas akan mengundang masalah baru yang kontraproduktif. Bisa jadi akan banyak warga masyarakat yang mau menikah tidak melalui KUA sebab mereka merasa dipersulit. Mereka akan lebih memilih nikah secara agama yang simpel. Hal buruk lainnya bisa jadi akan semakin memberi alasan  kepada para remaja melakukan pergaulan bebas karena keinginan mereka cepat menikah “dihambat” oleh waktu kursus selama tiga bulan.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun