Mohon tunggu...
Biso Rumongso
Biso Rumongso Mohon Tunggu... Jurnalis - Orang Biyasa

Yang terucap akan lenyap, yang tercatat akan diingat 📝📝📝

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Pengguna Toilet Jongkok Kampungan

11 Maret 2018   12:47 Diperbarui: 11 Maret 2018   13:01 564
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
sumber gambar: id.wikihow.com

Suatu kali di sebuah WC umum. Keinginan untuk membuang air besar tiba-tiba sirna tatkala melihat toilet duduk sangat kotor dengan bekas telapak kaki pengguna sebelumnya.

Di kantor ternyata pengalaman serupa terulang. Bedanya di kantor saya dengan sabar hati  memilih membersihkan bekas telapak kaki di atas toilet duduk, sebelum saya gunakan karena merasa tak ada pilihan.

Saat beberapa kali kemudian kembali mengalami hal serupa, tanpa sadar terucap dari mulut umpatan kekesalan. "Dasar kampungan!"

Toilet duduk yang kotor dengan bekas telapak kaki, sandal, hingga sepatu, hampir dipastikan baru saja digunakan oleh orang yang biasa menggunakan toilet jongkok. Orang ini pasti masih kesusahan membuang air besar dengan cara duduk sehingga nekad jongkok.

Bisa juga ia tipe orang bebal karena tak pernah memikirkan pengguna berikutnya. Sebab boleh saja ia mengotori toilet duduk, tapi mestinya tetap mau membersihkannya karena toilet itu bukan hanya dia yang menggunakannya.

Bagaimana umpama pas dia mengalami hal serupa seperti saya, pasti dongkol bukan?

Toilet jongkok dan toilet duduk pun seolah mewakili dua kultur, pedesaan dan perkotaan. Toilet jongkok banyak digunakan di pedesaan karena lebih praktis perawatannya. WC jongkok jarang rusak, kecuali mungkin mampet.

WC duduk juga praktis dalam penggunaannya, terutama buat di perkantoran dan tempat umum. Tapi perlu melepas semua celana, kita bisa menggunakan WC duduk.

Sebagai orang desa, saya sendiri mulanya pengguna toilet jongkok. Namun saya merasa tak masalah saat harus berpindah menggunakan toilet duduk. Di rumah, saya tetap membuat dua tipe toilet. Hanya saya toilet duduk lebih dekat dengan ruang keluarga, sedang toilet jongkok berada dengan gudang.

Kami pun lebih banyak menggunakan toilet duduk, mandi menggunakan shower dibanding toilet jongkok dan menggunakan gayung.

Suatu kali anak-anak mulai besar. Anak pertama diterima di jurusan favoritnya di Universitas Sebelas Maret, Solo. Mau tak mau ia harus hidup sendiri alias indekos.

Hunting tempat kos pun dimulai dan akhirnya dapat setelah melalui beberapa pilihan.  Tempat kos dengan kamar mandi sendiri, tak jauh dari kampus, dan tempatnya secara umum memadai yakni bersih dan aman.

Nah, meski kamar mandi sendiri, ternyata sempat ada persyaratan tambahan dari sang anak, yakni toiletnya duduk, dan mandinya menggunakan shower.

Di Solo, tempat kos dengan toilet duduk ternyata agak susah didapatkan. Menurut ibu kos, toilet duduk merepotkan karena sering rusak. 

Sempat dapat tempat kos yang menggunakan toilet duduk, namun secara umum kurang bersih dan nyaman.

Lalu saya minta bapak kos untuk mengubah toilet sesuai keinginan anak. Memasang shower ia tak masalah, namun mengubah toilet jongkok menjadi toilet duduk bapak kos keberatan.

Akhirnya kami mengalah. Anak janji akan belajar menggunakan toilet jongkok, meski minta dibelikan selang sebagai pembilas sebelum akhirnya menggunakan gayung.

Mengubah kebiasaan menggunakan toilet duduk menjadi toilet jongkok plus penggunaan gayung ternyata lebih susah dibanding kebiasaan sebaliknya. Butuh sekitar setahun anak saya bisa mengubah kebiasaan tersebut.

Sejak itu saya tak pernah lagi mengumpat tatkala menemukan toilet duduk yang kotor karena digunakan oleh pengguna toilet jongkok.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun