Mohon tunggu...
Wistari Gusti Ayu
Wistari Gusti Ayu Mohon Tunggu... Guru - Saya seorang guru

Guru adalah profesi yang mulia, saya bangga menjadi guru

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Di Tengah Gejolak Berbau SARA, Mari Tengok Bali Pulau "Kedamaian"

20 Agustus 2019   08:13 Diperbarui: 20 Agustus 2019   12:43 207
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Saya sebagai warga Bali yang sejak kecil diajarkan toleransi, saya juga sekaligus warga negara Indonesia, bahkan mungkin pahlawan kita jika bisa melihat dari surga sana, pasti sedih sekali melihat agama menjadi perdebatan, sedih sekali, etnis kadang disinggung-singgung, padahal pendahulu kita memperjangkan tanah air Indonesia dengan segala upaya, barsatu padu menumpahkan darah demi kemerdekaan ini.

Sumpah pemuda tahun 28 Oktober 1928, membuktikan bahwa semua pemuda dari Sabang sampai Merauke berikrar menyerukan persatuan. Bunyi sumpah pemuda tersebut : 

Pertama : Kami putra dan putri Indonesia mengaku bertumpah darah yang satu, tanah air Indonesia. Kedua : kami putra dan putri Indonesia mengaku berbangsa satu, bangsa Indonesia. Ketiga : kami putra dan putri Indonesia menjunjung bahasa persatuan, bahasa Indonesia.

Saat itu pemuda berkumpul, tidak ada yang membedakan suku, ras, dan agama. Saat  Sumpah Pemuda diucapkan, mulai saat itu pula  Indonesia meyadari persatuan.

Lalu mereka berjuang bersama-sama sampai akhirnya pada tangga 17 Agustus 1945 kita merdeka, itupun adalah wujud dari persatuan, sehingga, penjajah kalah dan hengkang dari Bumi kita Indonesia.

Kemudian dirumuskan juga  UUD 1945, di dalam pembukaaannya menyebutkan negara berdasarkan kepada Ketuhanan Yang Esa, disana tidak disebutkan, sebutan Tuhan dari salah satu agama, namun "Tuhan Yang Maha Esa". Dan pada akhirnya akan tertuang dalam dasar negara kita Pancasila sila pertama.

Lambang negara Burung Garuda pun memegang pita yang berisi semboyan Bhinneka Tunggal Ika, yang artinya berbeda-beda tetapi tetap satu jua. Semboyan itu diambil dari kitab Sutasoma karangan Empu Tantular.

Dikutip dari kebudayaan.kemendikbud.go.id. Kitab ini istimewa karena mengajarkan toleransi antara umat Hindu Siwa dengan umat Buddha. Kutipan Bhineka Tunggal Ika berasal dari pupuh 139, bait 5. Bait ini secara lengkap seperti di bawah ini:

Rwāneka dhātu winuwus Buddha Wiswa,
Bhinnêki rakwa ring apan kena parwanosen,
Mangka ng Jinatwa kalawan Śiwatatwa tunggal,
Bhinnêka tunggal ika tan hana dharma mangrwa.

Terjemahan:

Konon Buddha dan Siwa merupakan dua zat yang berbeda.
Mereka memang berbeda, tetapi bagaimanakah bisa dikenali?
Sebab kebenaran Jina (Buddha) dan Siwa adalah tunggal
Terpecah belahlah itu, tetapi satu jugalah itu. Tidak ada kerancuan dalam kebenaran.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun