Saya pikir, keributan netizen di internet ketika diskusi dan berbeda pendapat pun salah satunya disebabkan karena generasi baru bangsa tidak sempat merasakan fase untuk membaca bahan bacaan secara analog dan langsung main media sosial. Menurut budayawan Sujiwo Tedjo sih, dalam tweetnya yang saya baca beberapa waktu yang lalu, harusnya sebelum main media sosial orang harus melewati fase membaca buku dan rajin menulis dulu, seperti yang terjadi pada generasi saya dan generasi sebelumnya sehingga pas main media sosial gak barbar.
Lho, memangnya kenapa? Kan membaca bisa juga via internet?
Setidaknya, membaca secara analog itu isinya jauh lebih bertannggungjawab karena sebobrok apapun isinya, setidaknya penulisnya melewati penyuntingan oleh penerbit dulu mulai dari pengguaan bahasa dan tanda baca, isi, hingga layoutnya. Di internet, semua orang bisa menulis apa saja tanpa disunting oleh profesional. Bahkan bisa menulis secara anomim. Padahal isinya bisa saja hoax.
Lagian, membaca itu adalah kebiasaan yang bagus karena banyak orang sukses di dunia ini diawali dari rajin membaca, mulai dari Bung Karno, Bill Gates, Warren Buffet yang selalu menyempatkan untuk membaca buku di waktu luangnya alih-alih main media sosial. Makanya mereka selalu dapat membuat inovasi-inovasi terkemuka ya karena rajin membaca. Bahkan saya saja rajin menulis di Terminal Mojok salah satunya ya karena suka membaca dari kecil, meski bacaan saya masih sebatas Doraemon aja sih di usia yang hampir 30 tahun.
Mudah-mudahan kedepannya akan semakin banyak perpustakaan atau taman bacaan yang bisa menyediakan akses membaca, terutama kepada anak-anak. Saya sudah melihat banyak sekali yang sudah dilakukan oleh para public figure seperti Najwa Shihab dan sejumlah influencer lainnya yang membuka taman bacaan di sekitaran lingkungan permukiman warga dari buku-buku yang didonasikan oleh para donatur sehingga tingkat literasi generasi penerus bangsa ini bisa sebagus literasi generasi penerus di negara-negara maju.