Pendahuluan
Sejarah gereja Kristen adalah narasi panjang yang diwarnai oleh dinamika konflik ketegangan antara tradisi dan pembaruan, antara otoritas dan kebebasan beriman serta upaya rekonsiliasi. Pada abad ke-16, Martin Luther memicu gelombang Reformasi menantang otoritas Gereja Katolik dan memicu perpecahan teologis yang tidak hanya mengubah peta religius Eropa tetapi juga menciptakan jurang antara Gereja Katolik dan komunitas Protestan. Namun, empat abad kemudian, Konsili Vatikan II (1962--1965) menjadi titik balik yang mengubah permusuhan menjadi upaya rekonsiliasi guna membangun komuni antarumat Kristen. Esai ini akan mengeksplorasi evolusi hubungan antara Katolik dan Protestan---dari konflik teologis yang sengit hingga upaya membangun komuni melalui keterbukaan Vatikan II yang membuka jalan bagi dialog ekumenis.
Martin Luther, Akar Konflik, Api Reformasi dan Dampak Perpecahan
Martin Luther, seorang biarawan Augustinian, awalnya hanya berniat mereformasi praktik-praktik gereja yang ia anggap menyimpang, terutama penjualan indulgensi. Namun, 95 Tesis yang dipakukannya di Wittenberg pada 1517 justru memicu revolusi teologis. Kritiknya bukan hanya soal korupsi, tetapi juga menyentuh doktrin seperti otoritas Paus, pembenaran oleh iman (sola fide), peran Kitab Suci (sola scriptura), dan priesthood of all believers (imamat semua orang beriman)---langsung menantang hierarki Gereja Katolik.
Luther mewakili semangat pembaruan yang berani menantang status quo, tetapi juga memicu perpecahan yang berlangsung berabad-abad. Konflik ini memuncak dalam ekskomunikasi Luther (1521) dan penolakan untuk menarik kembali ajaran-ajarannya di hadapan Kaisar Karl V dalam Diet of Worms memperdalam perpecahan dan berujung pada pecahnya Protestantisme dari Roma.
Reformasi Luther tidak hanya soal teologi; ia juga memicu pergeseran politik dan sosial, seperti pemberontakan petani dan Perang Tiga Puluh Tahun (1618--1648), yang melibatkan konflik antar denominasi yang memperdalam luka antara Katolik dan Protestan.
Namun, di balik konflik ini, Luther sebenarnya menginginkan gereja yang lebih otentik---bukan perpecahan abadi. Dalam surat-suratnya, ia kadang mengungkapkan harapan bahwa suatu hari gereja akan bersatu kembali dalam kebenaran Injil.
Konsili Trente dan Perlawanan Katolik
Menghadapi Reformasi, Gereja Katolik merespons dengan Kontra-Reformasi, yang dipuncaki oleh Konsili Trente (1545--1563). Konsili ini menegaskan kembali doktrin Katolik, menolak ajaran Luther, dan memperkuat otoritas Paus. Meskipun Trente berhasil memulihkan disiplin gerejawi, ia juga memperdalam polarisasi antara Katolik dan Protestan.
Selama berabad-abad, hubungan kedua tradisi ini diwarnai oleh kecurigaan dan permusuhan. Namun, pada abad ke-19 dan awal abad ke-20, muncul gerakan-gerakan ekumenis yang mulai mempertanyakan: Apakah perpecahan ini benar-benar kehendak Kristus?
Â