Mohon tunggu...
Made WipraPratistita
Made WipraPratistita Mohon Tunggu... Pengacara - Seorang Aktivis Hukum

Seorang yang senang membahas segala hal dari kacamata hukum

Selanjutnya

Tutup

Hukum

Penolakan Pendirian Ashram Hare Khrisna, Bolehkah?

11 Mei 2021   03:25 Diperbarui: 11 Mei 2021   03:26 220
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Hukum. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Melansir dari pemberitaan online di salah satu media berita local dibali yang menyebutkan adanya oknum Pejabat DPD RI dari Bali yang memberikan ancaman kepada Kelian dan Kepala Desa karena dianggap tidak mau mengeluarkan izin asram sekte Hare Khrisna serta dianggap menghalangi kegiatan keagamaan dan mempersulit izin sehingga dianggap melanggar hukum. Dari sini, tentu kita harus cari tahu dan mempertanyakan apa landasan hukum oknum Pejabat DPD RI dari Bali ini yang mengatakan bahwa pilihan menolak pemberian ijin mendirikan Asharam yang dilakukan oleh Kelian dan Kepala Desa termasuk perbuatan melanggar hukum?

Mari kita telusuri dan kaji lebih dalam, berbicara tentang perlindungan hak kebebasanan warga negara untuk memeluk keyakinan dan beribadah sesuai dengan keyakinanya, tentu hal ini merupakan tugas dari Pemerintah yang berkewajiban melindungi setiap usaha pengembangan agama dan pelaksanaan ibadat bagi pemeluk-pemeluknya, sepanjang kegiatan-kegiatan tersebut tidak bertentangan dengan hukum yang berlaku dan tidak mengganggu keamanan dan ketertiban umum. Makna tidak bertentangan dengan hukum ini adalah bahwa setiap warga negara beribadah dan memeluk keyakinannya sesuai dengan keyakinan yang diakui oleh Negara menurut ketentuan Undang-Undang No. 1 tentang PNPS Tahun 1965.

Lalu apa saja keyakinan agama yang diakui oleh Negara Republik Indonesia? Mengacu pada ketentuan Undang-Undang No. 1 tentang PNPS Tahun 1965 dalam pasal 1 dikatakan bahwa Negara Indonesia mengakui 6 agama yang terdiri dari Islam, Kristen, Katolik, Hindu, Budha, dan Khonghucu yang masing-masing agama tersebut diberikan perlindungan dalam menjalankan ibadatnya oleh Kementerian Agama berdasarkan ketentuan Peraturan Pemerintah Nomor 33 Tahun 1949 dan Peraturan Pemerintah Nomor 8 Tahun 1950 serta Peraturan Menteri Agama Nomor 5 Tahun 1951. Sedangkan, ada satu hal yang menjadi pengakuan terbaru di Negara Indonesia yaitu Penghayat Kepercayaan sebagai Keyakinan yang dakui secara sah dalam administrasi kependudukan di Indonesia berdasarkan pada Putusan MK No 97/PUU-XIV/2016. Penghayat kepercayaan adalah sebutan bagi orang yang menganut agama lokal. Agama lokal yang dimaksud adalah memercayai ajaran leluhur yang sudah ada jauh sebelum agama-agama besar dari luar Indonesia datang. Lembaga yang memiliki kewenangan untuk mengakomodir dan merangkul Penghayat Kepercayaan untuk saat ini adalah Majelis Luhur Kepercayaan Indonesia.

Lalu untuk sekte Hare Khrisna, apakah masuk bagian dalam Agama atau masuk dalam bagian Penghayat Kepercayaan? Jawabannya tentu ada pada mereka yaitu orang-orang penganut Hare Khrisna sendiri. Apabila jawaban mereka, mereka menyatakan diri mereka sebagai bagian dari agama Hindu, tentu subyek yang patut memberikan jawabannya ada di Parisadha Hindu Dharma Indonesia (PHDI) sebagai Lembaga Umat Hindu di NKRI. Apabila jawaban mereka, mereka menyatakan diri sebagai keyakinan Penghayat Kepercayaan dengan memakai landasan Putusan MK No.97/PUU-XIV, maka mereka harus keluar dari PHDI dan harus mendapat pengakuan resmi dari Lembaga Majelis Luhur Kepercayaan Indonesia bahwa mereka masuk kedalam kriteria keyakinan Penghayat Kepercayaan.  Apabila jawabaan mereka, bahwa mereka bukan bagian penghayat kepercayaan dan menyatakan diri bahwa mereka adalah agama yang berdiri sendiri bukan bagian dari Hindu atau salah satu agama yang diakui menurut ketentuan Undang-Undang No. 1 tentang PNPS Tahun 1965, tentu pilihannya salah satunya adalah mereka harus keluar dari PHDI lalu berjuanglah sendiri mendapatkan pengakuan sebagai agama yang sah oleh Negara, dengan menguji ketentuan Undang-Undang No. 1 tentang PNPS Tahun 1965 ke MK.

 Selama posisi jawaban para penganut sekte Hare Khrisna terhadap keberadaan mereka tidak jelas apakah mereka itu bagian dari Agama,  bagian dari Penghayat kepercayaan, atau agama yang berdiri sendiri tentu Pendirian dari Ahsram menjadi suatu pertanyaan. Apakah Asharam itu adalah tempat ibadah atau bukan? Atas ketidakjelasan posisi tersebut maka, Setiap orang punya hak untuk memilih bersikap menolak Ketika mengetahui ada suatu kedudukan subyek atau obyek yang tidak jelas atau bahkan berpotensi melanggar ketentuan Perundang-Undangan yang ada di Indonesia. Sehingga jawaban saya sebagai Penulis artikel disini, Sikap dari Kepala Desa atau Kelian Desa yang menolak pendirian ashram adalah sikap yang tidak melanggar hukum. Justru menurut penulis, penolakan memberi ijin pendirian asharam sekte Hare Khrisna adalah wujud sikap dari Kepala Desa yang patuh akan ketentuan peraturan perundang-undangan dan memberikan rasa aman kepada warganya dari aliran-aliran yang dapat merusak NKRI.

Yang perlu patut diduga melanggar hukum adalah sikap pengancaman oleh oknum Pejabat DPD RI dari Bali tersebut kepada Kepala Desa atau kelian Desa untuk memberi ijin pendirian Ashram Hare Khrisna. Sikap ini harus menjadi perhatian masyarakat, sebab dilakukan oleh oknum Pejabat DPD, dan saya harap Pimpinan DPD RI segera memecat oknum bersangkutan.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun