Mohon tunggu...
Win Wan Nur
Win Wan Nur Mohon Tunggu... wiraswasta -

Saya adalah orang Gayo yang lahir di Takengen 24 Juni 1974. Berlangganan Kompas dan menyukai rubrik OPINI.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Etnis Cina, dari Tukang Gorengan, Chris John Sampai Agnes Monica

16 Juli 2010   13:25 Diperbarui: 26 Juni 2015   14:49 1188
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Beberapa waktu yang lalu, Qien Mattane Lao, anakku yang biasa kupanggil si Matahari Kecil mengikuti lomba mewarnai dan lomba menghias donat yang diadakan di Carrefour yang terletak tidak terlalu jauh dari rumahku.

Aku dan istriku sering mengikutkan Matahari Kecil lomba-lomba seperti ini supaya dia terbiasa merasakan karyanya diapresiasi orang lain. Kami tidak pernah mengajarkan si Matahari Kecil untuk mengutamakan hasil dari semua kegiatan yang dia lakukan, tapi yang selalu kami ajarkan dan juga yang diajarkan di Montessori sekolahnya adalah bagaimana menikmati setiap proses dari kegiatan apapun yang dia lakukan. Dan itulah yang terjadi pada perlombaan itu, si Matahari Kecil benar-benar menikmati setiap detail kegiatannya dan selalu tersenyum dengan menunjukkan wajah gembira, aku dan istriku tidak pernah dia izinkan untuk membantunya sedikitpun.

Tapi tidak semua orangtua dari anak-anak yang mengikuti lomba tersebut yang berpikiran sama dengan kami berdua. Contohnya seorang anak keturunan Tionghoa yang pada saat lomba mewarnai posisinya ada di kanan si Matahari Kecil. Anak bermata sipit ini terus diteriaki dan kadang dibentak oleh ibunya yang juga bermata sipit yang tidak pernah beranjak dari sampingnya sepanjang lomba. Bagi ibu anak ini sepertinya 'hasil' yang dalam lomba ini berarti kemenangan adalah segala-galanya. Kekalahan akibat kesalahan sekecil apapun yang dilakukan oleh si anak tampaknya tidak bisa ditolerir oleh ibu si anak ini. Beberapa kali ketika panitia lengah si ibu ini diam-diam membantu anaknya untuk mengerjakan pekerjaan yang dalam aturannya hanya boleh dilakukan oleh si anak tanpa dibantu orang tua.

Saat lomba selesai, semua peserta menyerahkan hasil pekerjaannya kepada panitia untuk dinilai.

Ketika pemenang diumumkan, aku, istriku dan si Matahari Kecil sama sekali tidak ambil peduli dia menang atau tidak. Kami bertiga bertepuk tangan setiap kali nama pemenang disebutkan oleh pembawa acara. Sebaliknya dengan ibu dari si anak yang tadi membantu anaknya untuk melakukan pekerjaannya. Si Ibu ini menunggu setiap nama pemenang yang disebutkan oleh pembawa acara dengan wajah tegang. Dan ketika di antara nama-nama yang disebutkan itu dia tidak mendapati nama anaknya, di depan semua orang si ibu ini marah besar pada anaknya. Si anak sendiri dengan wajah tertunduk sekalipun tidak berani membantah kata-kata si ibu. "Nanti di lomba menghias donat, ibu nggak mau tahu pokoknya kamu harus menang", kata si Ibu kemudian mengancam ketika lomba menghias donat yang juga diikuti anaknya akan segera dimulai.

Sama seperti lomba pertama, kali inipun si Matahari Kecil menikmati setiap detail kegiatannya, selalu tersenyum dan selalu menunjukkan wajah gembira. Dan anak yang disampingnya tadi, juga sama seperti saat lomba mewarnai, terus diteriaki oleh ibunya. Saat lomba menghias donat, anak tersebut posisinya jauh dari si Matahari kecil, tapi sesekali aku memperhatikannya dan kulihat seperti tadi, kali inipun ibunya sesekali membantu mengarahkan menunjukkan warna apa yang harus diberikan ke atas donat yang sedang dihias oleh anaknya.

Saat hasil lomba menghias donat diumumkan, tidak seperti lomba pertama, kali ini anak tersebut dinobatkan sebagai juara pertama. Aku melihat ada rona kelegaan di wajah si anak dan ada rona perasaan puas yang luar biasa di wajah ibunya.

Setiap keluarga Tionghoa, baik yang kukenal secara langsung, yang kudengar dari cerita orang maupun yang kubaca di buku atau yang kusaksikan di film-film, dalam mendidik anaknya kurang lebih semuanya memang bersikap seperti Ibu si anak yang mengikuti lomba mewarnai dan menghias donat di Carrefour ini. Mereka selalu memacu anaknya dengan keras untuk menjadi nomer satu di setiap aktivitas yang mereka ikuti, mereka tidak suka melihat anak mereka kalah, mereka selalu ingin anak mereka jadi pemenang apapun caranya.

Tentang hal ini digambarkan dengan sempurna dalam film karya Doug Atchinson yang berjudul "Akeelah and The Bee". Sebuah film yang menceritakan tentang lomba mengeja untuk anak-anak yang sangat populer beberapa tahun belakangan ini di Amerika.

Dalam film itu digambarkan bagaimana pertarungan untuk menjadi juara "Spelling Bee" se-Amerika antara seorang anak perempuan kulit hitam dan seorang anak laki-laki keturunan cina. Dalam salah satu adegan film tersebut digambarkan bagaimana bapak dari si anak cina tersebut memaksa anaknya yang telah dua kali secara berturut-turut menjadi juara nasional "Spelling Bee" untuk mempelajari ejaan berbagai kata-kata yang tidak umum. Si Bapak ini mengajari anaknya dengan keras diiringi bentakan bahkan kadang sambitan. Aku teringat pada adegan ini ketika menyaksikan ibu dari anak cina yang mengikuti lomba mewarnai di Carrefour tadi memarahi anaknya yang dianggapnya salah dalam melakukan pekerjaannya.

Apa yang ditunjukkan oleh si Ibu di Carrefour dan si bapak dalam film "Akeelah and The Bee" adalah gambaran umum dari sikap para orang tua Huaqiao alias etnis cina perantauan dalam membentuk anak mereka. Bentukan seperti ini kemudian tercermin dari sikap para Huaqiao setelah mereka dewasa. Mereka selalu berusaha sekuat tenaga untuk menjadi yang terbaik di setiap aktivitas apapun yang mereka ikuti. Beberapa dari mereka mencapainya dengan cara yang tidak jujur seperti yang ditunjukkan oleh si Ibu di Carrefour tersebut, tapi tidak sedikit yang mendapatkannya melalui usaha keras yang jauh melebihi usaha yang dilakukan oleh orang-orang non Cina.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun