Mohon tunggu...
Wiman Rizkidarajat
Wiman Rizkidarajat Mohon Tunggu... -

Pelari 11 km | pernah aktif di band metal bernama Spider's Last Moment

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Robohnya “Ka’bah” Kami: Sebuah Ode Buat Partai Islam Tertua Bentukan Rezim

2 Mei 2014   16:07 Diperbarui: 23 Juni 2015   22:57 119
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Pemilu legislatif 2014 yang baru saja usai menurut pandangan saya agaknya menyisakan sebuah polemik besar berkelanjutan yang hingga kini belum dapat diselesaikan secara baik oleh partai Islam tertua bentukkan rezim Orde Baru, Partai Persatuan Pembangunan. Seperti kita ketahui bersama, Partai Persatuan Pembangunan mengalami gonjang-ganjing besar akibat sikap nrimo si pimpinan partai, Suryadharma Ali, untuk secara terbuka mendukung Gerindra, sebuah bakal calon partai fasis gaya baru di Indonesia menilik pada siapa Ketua Umumnya sekarang, yang menyebabkan para bawahan serta penggerak mesin suara Partai Persatuan Pembangunan merasa dilangkahi dengan sikap nrimo SDA tersebut. Polemik berdasarkan sikap nrimo itu bagi saya, khususnya, sebagai seorang penikmat sastra yang dikanonkan melalui buku pelajaran Gemar Bahasa Indonesia terbitan Balai Pustaka, saya rasakan sangat mirip dengan konflik dalam cerpen legendaris milik Ali Akbar Navis yang berjudul “Robohnya Surau Kami” yang kerap dikutip dalam buku pelajaran tersebut. Dasar penyamaan yang saya gunakan dalam penjelasan keterkaitan gonjang-ganjing Partai Persatuan Pembangunan dengan cerpen karya Ali Akbar Navis pada paragraf berikutnya dalam tulisan ini bukan sekadar diambil dari latar belakang kepercayaan pelaku konflik saja, Islam, melainkan lebih pada sikap kenrimoan SDA yang kejadiannya sama persis diceritakan dalam cerpen “Robohnya Surau Kami”.

“Robohnya Surau Kami” diceritakan memiliki 3 orang tokoh, yaitu Aku, si narator, Kakek, seorang penjaga surau, dan Ajo Sidi, seorang pembual yang pandai membuat orang sekelilingnya tertawa. Kakek, dalam cerpen tersebut, diceritakan sebagai seorang taat yang sangat nrimo pada campur tangan Tuhan dalam kehidupannya. Kakek dalam sepanjang hidupnya menanggalkan kemungkinan atau potensi dirinya untuk menjadi orang yang lebih baik dengan cara menjadi penjaga surau yang terus-terusan berdoa dan beribadah pada Tuhan. Harapan Kakek dengan terus berdoa dan beribadah pada Tuhan sampai dia menanggalkan kehidupan duniawinya sudah barang tentu adalah surga, seperti kebanyakan konservatif islam lainnya. Dalam cerpen tersebut diceritakan konflik terjadi saat Aku pulang dan menemui Kakek di Surau kampungnya, Kakek terlihat bermuram durja sebab dia habis mendengar cerita, atau lebih dianggap sebagai bualan oleh Kakek dalam cerpen tersebut, yang diceritakan Ajo Sidi. Bagi saya, apa yang diceritakan Ajo Sidi sesungguhnya merupakan cerita yang sangat kocak yang dengan tegas menyentil kekonservatifan kaum Islam yang rela menjadi bodoh dan miskin di dunia demi menjadi kaya di surga nanti. Ajo Sidi dengan sangat berani mempermainkan psikologi Kakek melalui sebuah cerita kritis yang menceritakan percakapan Tuhan dengan seorang Haji ketika hari penghitungan amal. Cerita yang pada akhirnya mengisahkan Haji yang dimasukkan kedalam neraka karena dia tidak mau bekerja dan hanya bisa berdoa dan beribadah membuat Kakek sepanjang hari bermuram durja serta menyimpan amarah pada Ajo Sidi.

Di dunia nyata, kenrimoan Kakek rupanya entah secara sengaja atau diam-diam diadopsi dengan sempurna oleh SDA. Apa yang membuat saya berpendapat demikian? Mari saya antarkan pemikiran pembaca menuju pemikiran yang hendak saya sampaikan melalui penyamaan karakter Kakek dan SDA. Menjelang Pemilu 2014 ketika seluruh partai politik tengah giat-giatnya bekerja dalam menggerakan mesin politik mereka guna meraup suara, SDA dengan pongah justru menghadiri kampanye partai lain dan secara terbuka menyatakan mendukung calon Presiden dari partai tersebut. Hal tersebut kemudian menggulirkan sebuah batu yg telah lama ditahan untuk tidak longsor, sebuah protes besar dari bawah yang berujung pada somasi untuk memberhentikan SDA sebagai pimpinan partai dan disisi lain SDA, sebagai kubu pemegang status quo, juga menerbitkan surat pemecatan untuk Romahurmuziy (sosok yang saya pikir agak mirip dengan komedian idola saya dahulu, Daan Arya. Namun saya tidak tahu kapasitasnya dalam melucu, sebab selama ini dia terlihat spaneng ketika memberikan pernyataan di media). Pilihan SDA untuk secara terbuka mendukung calon presiden dari partai lain tersebut saya padankan pada sikap nrimo tokohKakek dalam cerpen “Robohnya Surau Kami” sebab implikasinya sama yaitu terjaminnya sebuah tempat dalam posisi yang enak, dalam konteks Kakek adalah surga, sedangkan dalam konteks SDA adalah parlemen. Sikap menentang Romahurmuziy saya padankan dengan sikap Ajo Sidi yang memilih bekerja guna menjamin hidupnya, Romahurmuziy ingin menghidupkan peran dan partisipasi mesin partai dalam cara politis yang wajar, sedangkan Ajo Sidi ingin menghidupkan tradisi manusia untuk berusaha dan tidak menjadi nrimo terhadap garis yang konon sudah digambar oleh Tuhan.

Dalam kelanjutan kasus ini, konon mereka berdua telah didamaikan oleh KH Maimun Zubair sebagai Ketua Majelis Syariah PPP namun sayangnya sang kyai ini tidak dapat memupus akibat dari sikap nrimo SDA meskipun konon (lagi) SDA dan Romahurmuziy  telah berdamai. Sang kyai memutuskan untuk membatalkan dukungan formal partai Ka’bah ini terhadap calon presiden (yang kekuasaannya hampir mendekati Tuhan sebab ia dapat memilih calon korban yang harus dieksekusi timnya dulu ketika menjadi penggede militer) yang dapat menjamin posisi SDA dalam parlemen nanti ketika ia terpilih, dan konon (lagi-lagi) partai Ka’bah ini justru beralih pada pembicaraan terbuka dengan calon presiden yang giat bekerja (menurut reputasinya di media). Memang harus diakui bahwa tidak ada yang pasti dalam ranah politis, namun sepertinya sang kyai ini membaca apa yang menjadi inti dalam cerpen “Robohnya Surau Kami” yaitu jawaban istri Ajo Sidi pada pertanyaan tokoh aku ketika dia pergi ke rumah Ajo Sidi.

“Ia sudah pergi” jawab istri Ajo Sidi

“Tidak ia tahu Kakek meninggal?”

“Sudah. Dan ia meninggalkan pesan agar dibelikan kain kafan buat Kakek tujuh lapis”

“Dan sekarang” tanyaku kehilangan akal sungguh mendengar segala peristiwa oleh perbuatan Ajo Sidi yang tidak sedikit pun bertanggung jawab, “dan sekarang kemana dia?”

“Kerja.”

“Kerja?” tanyaku mengulangi hampa.

“Ya, dia pergi kerja.”

Suryadharma Ali tak bunuh diri seperti tokoh Kakek, dia sendiri memilih untuk tak bekerja demi Partainya, justru mendukung partai lain. Sekarang mereka di partai Ka’bah harus lebih giat bekerja dan memperbaiki pandangan agar Ka’bah mereka tak runtuh akibat tingkah penunggunya layaknya Surau di cerpen “Robohnya Surau Kami”. Selamat bekerja.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun