Mohon tunggu...
Wilya Adisa
Wilya Adisa Mohon Tunggu... Wiraswasta - XBanker, K-Drama Lover, Novel Reader, a Mommy and a Wifey

a Mommy and a Wifey yang sibuk. Meskipun 24 jamnya full dengan kegiatan, tapi entah kenapa jadi banyak overthinking tentang hidup. Sehingga daripada dipendam sendiri mending ditulis di kompasiana.com. Siapa tahu, dari hasil ovt dalam pikirannya bisa jadi inspirasi bagi para pembaca. So, jangan sungkan bertukar ide dan sharing pendapat ya! Biar tambah ovt dan tambah banyak yang ingin ditulis. :D

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Kurikulum Merdeka, Peran Orangtua dan Proses Belajar Anak di Rumah

8 Juni 2023   12:13 Diperbarui: 8 Juni 2023   13:19 1250
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber Gambar : https://sindunesia.com/gambar-anak-sekolah-kartun/ 

Sudah hampir dua minggu ini proses ujian akhir semester untuk kenaikan kelas dilaksanakan. Namun, ternyata tidak semua sekolah melaksanakan ujian tulis seperti dulu. Kurikulum Merdeka yang telah dicanangkan oleh Mas Menteri membentuk suatu paradigma baru, bahwa sekolah itu bebas, merdeka, tanpa tekanan. Hanya saja, sebagai orang tua yang sudah pernah sekolah, rasa-rasanya kurikulum yang baru ini tidak bisa semudah itu dilaksanakan. 

Sebagai orang tua yang bersekolah dengan menggunakan Kurikulum 1994 (K94). Mendampingi anak belajar dengan Kurikulum Merdeka (KunMer) memiliki keunikan tersendiri dan jadi ikut belajar lagi. Jika dulu saat menjadi siswa bisa belajar sendiri dari buku modul dan buku tulis. Sekarang anak belajar, tidak hanya dari buku sekolah tapi juga dari koran, artikel online, atau buku-buku lainnya dan atau turun langsung ke lapangan. 

Misalnya, belajar IPA tentang Kandungan Nutrisi dalam Makanan. Anak bisa langsung belajar saat menemani ibu memasak di dapur. Ibu mengajak anak melihat menu apa yang akan dimakan hari ini lewat artikel online. 

Dari situ anak sudah belajar membaca dan memahami secara langsung dari keterangan artikel yang diberikan. Setelah membaca selesai, bahan dan bumbu disiapkan. Ada nasi yang berasal dari beras dan dimasak dengan air, ada ikan, daging, telur yang diolah dengan bawang merah, bawang putih, jahe, kunyit, ketumbar ditambah garam dan gula, ada berbagai macam sayuran bewarna mulai dari hijau, merah, putih, ungu, kuning dengan berbagai macam bentuk.  Dari situ, anak langsung memegang dan mengenal dengan mata kepala sendiri bahwa ini loh, makanan bergizi, ini loh yang banyak mengandung vitamin, protein dan mineral yang dibutuhkan oleh tubuh. 

Jika saat memasak ada bahan atau bumbu yang kehabisan di rumah, kita bisa mengajak anak untuk pergi ke pasar. Di pasar, anak diajarkan langsung pelajaran matematika cara berhitung penjumlahan dan pengurangan tentang uang dan jumlah barang yang dibeli. Lalu, anak secara otomatis juga belajar berbahasa yang baik dan benar. Bisa menggunakan Bahasa Indonesia atau Bahasa Daerah saat bercakap-cakap dengan penjual di pasar. Secara tidak langsung juga, anak belajar berani berbicara di depan orang banyak dan melakukan negosiasi (tawar menawar harga barang). 

Kalau dipikir-pikir, sebenarnya kurikulum merdeka ini sudah biasa dilakukan sejak dulu tapi tidak sadar. Karena tidak semua orang tua bisa turut aktif mengajak anak bersikap kritis. 

Dulu saat sekolah dengan K94, kurikulumnya terkenal luar biasa padat. Beban belajar siswa bercampur jadi satu. Tidak hanya muatan nasional tapi juga muatan lokal seperti bahasa daerah, kesenian, keterampilan daerah, dan lain-lain. Rapot pada saat itu juga masih menggunakan nilai dan ranking. Sehingga, anak berlomba-lomba untuk mendapat nilai bagus dengan tugas segunung alih-alih mengerti maksud dan tujuan dari belajar itu. Jadi praktek yang dilakukan tidak terlalu bermakna karena anak sudah capek belajar dari balik meja belajar. 

Sekarang, ranking kelas tidak lagi diberlakukan. Meskipun di rapot masih ada nilai dan batas KKM yang ditentukan oleh sekolah.   

Cuma seingat saya, entah kenapa pada saat dulu, guru mengajar bisa lebih detail dan sesuai dengan buku yang diajar. Jadi, ketika diulang di rumah anak tinggal membaca kembali dengan apa yang ditulis di buku tulis dan dipadukan dengan modul sekolah. Sedangkan para orang tua, tinggal menanyai apa yang ada di buku. Sekarang, dengan KurMer ini guru tidak lagi berperan seperti dulu. 

Karena banyaknya sumber ilmu yang bisa didapat dengan mudah yang ada di sekitar si anak. Yang mana guru tidak lagi mengajar secara detail apa yang ada di buku. Sehingga, anak dituntut untuk aktif mencari apa yang ingin diketahui. Nah, jika pribadi si anak memang pribadi yang ingin tahu, pasti lancar. Jika si anak santai? tentu peran orang tua yang diutamakan. 

Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun