Mohon tunggu...
WILLIAM MILLER SIMBOLON
WILLIAM MILLER SIMBOLON Mohon Tunggu... Mahasiswa

Hobi catur

Selanjutnya

Tutup

Entrepreneur

Ekonomi berkembang masyarakat kesakitan : dimana letak kesalahan nya ?

2 Oktober 2025   14:38 Diperbarui: 2 Oktober 2025   15:28 12
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Entrepreneur. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Jcomp

Makroekonomi data sering terasa berada di dunia yang lain dengan situasi terjadi di samping kita sehari-hari. Berita televisi berderak banyak melaporkan pertumbuhan ekonomi positif, jumlah investasi yang membumbung tinggi, dan peringkat utah masih berada di kategori aman.  Mengapa ada jurang yang begitu lebar antara cerita makro yang berwarna dan realita mikro yang gelap? 

Kesenjangan antara Data dan Rasanya

Pertama-tama, mari kita tinjau beberapa indikator makro yang terus diperkenalkan.

1. Pertumbuhan Ekonomi (PDB): Indonesia memang terus menunjukkan pertumbuhan ekonomi yang positif, biasanya sekitar 5%. Secara teknis, angka ini mencerminkan peningkatan nilai total barang dan jasa yang diproduksi di dalam negeri. Namun, pertumbuhan tersebut sering kali tidak bersifat inklusif. Sumber pertumbuhannya banyak berasal dari sektor-sektor yang padat modal seperti komoditas (contohnya batu bara dan minyak sawit ketika harga berada pada tingkat tinggi) atau industri jasa tertentu yang tidak banyak menyerap tenaga kerja dengan keterampilan rendah. Sebagai akibatnya, manfaat dari pertumbuhan ini hanya dirasakan oleh sejumlah pelaku usaha dan pemilik modal, sementara sebagian besar tenaga kerja tidak merasakan dampak yang signifikan pada pendapatannya. Pertumbuhan semacam itu dapat dianalogikan dengan gelombang pasang yang hanya mampu mengangkat kapal-kapal besar, sementara perahu nelayan kecil tetap terjebak

2. Inflasi yang "Terkendali": Bank dan pemerintah sering merasa bangga atas pencapaian mereka dalam menurunkan inflasi hingga ke tingkat rendah, seperti di bawah 3%. Hal yang perlu diperhatikan adalah "keranjang inflasi" yang digunakan untuk perhitungan. Inflasi inti dapat terlihat sangat rendah; namun, harga-harga barang pokok, seperti beras, minyak goreng, cabai, dan daging sapi---atau yang langsung dirasakan oleh masyarakat---sering kali mengalami lonjakan dengan persentase yang jauh lebih tinggi (. Fenomena ini dikenal sebagai  inflasi yang dirasakan, yang mungkin sepenuhnya berbeda dari angka resmi yang diumumkan. Bagi keluarga miskin dan menengah ke bawah, yang sebagian besar pengeluarannya dialokasikan untuk kebutuhan pangan, kenaikan harga sembako sebesar 10% memiliki dampak yang jauh lebih drastis dibandingkan dengan peningkatan harga televisi atau mobil yang justru cenderung mengalami penurunan. Statistik mungkin menunjukkan peningkatan yang moderat; akan tetapi, di pasar tradisional, guncangan yang dirasakan serupa dengan getaran gempa.

3. Nilai Investasi yang Meningkat:Pemerintah kerap memperumumkan realisasi investasi, baik Penanaman Modal Dalam Negeri (PMDN) maupun Penanaman Modal Asing (PMA), yang mencapai rekor tertinggi. Ini memang baik untuk menciptakan lapangan kerja ke depan dan menambah kapasitas produksi nasional. Tapi kita harus bertanya: investasi di sektor mana saja? Apakah investasi tersebut menciptakan lapangan kerja yang berkualitas dan berupah layak? Ataukah justru di sektor yang bersifat capital-intensive dengan tenaga kerja terbatas? Selain itu, seringkali dilakukan "kanibalisasi" terdapat investasi ritel modern justru membunuh usaha warung tradisional, atau investasi industri makanan skala besar mengusir UMKM lokal. Investasi tidak strategis dapat menjadi pisau berdua mata: satu sisi mengangkat PDB, sisi lain membunuh sendi-sendi ekonomi kerakyatan.

Akar Masalah: Ketimpangan dan Struktur Ekonomi Madura

Paradoks yang kita saksikan ini berasal  dari dua masalah penting.
Pertama, ketimpangan pendapatan dan kekayaan yang masih sangat lebar. Perekonomian Indonesia bagaikan sekelompok orang yang berjalan; sekelompok orang di atas berlari sangat cepat (kelompok kaya yang semakin kaya), sementara mayoritas lainnya terlihat jauh tertinggal. Pertumbuhan ekonomi yang tinggi tidak serta merta memengaruhi lapisan bawah (efek tetesan ke bawah). Yang terjadi justru efek tetesan ke atas, yaitu konsentrasi kekayaan di antara sekelompok orang. Ketika sekelompok kecil masyarakat memiliki daya beli yang sangat tinggi, harga properti mewah dan barang-barang premium bisa melambung, menciptakan ilusi ekonomi yang kuat. Namun, ini tidak merepresentasikan kondisi mayoritas penduduk. Kesenjangan ini bagai bom waktu sosial yang dapat menggerus stabilitas dan kohesi bangsa dalam jangka panjang.

Kedua, struktur ekonomi yang belum berubah. Ekonomi Indonesia masih sangat bergantung pada konsumsi rumah tangga (sekitar 55-60% dari PDB). Artinya, mesin penggerak utama ekonomi adalah pembelanjaan kita sehari-hari. Jika daya beli masyarakat ter-tekan karena upah stagnan sambil harga-harga bergerak turun, konsumsi pasti akan melemah. Jika konsumsi melemah, pertumbuhan ekonomi otomatis terancam. Di sisi lain, industri manufaktur kita belum melanjutkan kelasnya. Banyak yang masih kita import dalam bentuk bahan baku dan modal barang, sedangkan ekspor kita masih terdiri dari komoditas mentah atau setengah jadi yang terkena fluktuasi harga internasional. Ketergantungan ini membuat kita sangat rentan terhadap pergelutan luar, seperti yang terjadi dalam krisis pandemi dan konflik geopolitik yang menggoncangkan rantai pasokan dunia. Kita seperti pedangan yang hanya menyediakan bahan mentah, kemudian membeli barang jadi dengan harga mahal. Nilainya rendah, sehingga kue ekonomi yang dibagi kepada rakyatpun tidak nilainya besar banyak.Apa Yang Harus Dilakukan?

 
1. Pemerintah harus beralih dari kebijakan makro yang hanya mengejar pertumbuhan, ke kebijakan yang lebih seimbang. Insentif fiskal, seperti pembebasan pajak atau tunjangan pajak, harus lebih difokuskan pada perusahaan yang dapat menciptakan lapangan kerja yang luas dan upah yang adil, serta yang melakukan transfer teknologi. Tidak hanya untuk industri padat modal. Indikator keberhasilan perlu diperluas, tidak hanya pada ukuran PDB, tetapi juga pada penurunan rasio Gini (ukuran ketimpangan) dan pertumbuhan upah riil.

2. Memperkuat Fondasi Pangan dan Energi. Inflasi yang menyengat ini adalah hasil dari ketergantungan impor dan korosi tata kelola pangan dan energi dalam negeri. Pemerintah harus serius membaikkan sektor pertanian dan peternakan dengan teknologi dan infrastruktur mendukung kemandirian pangan. Begitupun dengan energi, transisi ke energi terbarukan harus dipercepat agar bisa menurunkan beban subsidi BBM yang membelenggu anggaran negara. Kemandirian di hal yang paling mendasar itu adalah kunci ketahanan nasional.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Entrepreneur Selengkapnya
Lihat Entrepreneur Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun