Pasar itu sepi dari para pengunjung, sudah beberapa hari ini Wanda mengaku hanya tiga kaset VCD jajanannya yang dibeli." Itupun sudah lumayan", tutur Wanda sambil memandang ratusan kaset bajakan dalam ruko kecilnya.  Â
Oleh:
Wiliams Flavian Pita Roja,MSC
Sudah hampir pukul 14 WIB, Kami (Eky dan Roja) mulai melangkah keluar Novisiat, menyusuri jalan aspal yang ramai dilalui kendaraan. Kami bukan kelompok satu-satunya, beberapa kelompok lain dengan jumlah anggota yang sama seperti kami tampak melangkah di depan kami. Entah kemana mereka pergi, kami sudah tahu tujuan kami, Pasar Karangnyar-Kebumen, di sana kami akan melihat di mana dewi keadilan itu berada. Masuk mengitari ruko-ruko di depan pasar, sekilas akan terlihat betapa rapinya deretan para pedagang yang nyaman di tempat mereka yang lebar, bersih dan mudah memancing perhatian setiap orang yang lewat.
 Melihat sebuah lorong panjang ke dalam, kami sepakat untuk masuk. Hanya dalam beberapa langkah, pemandangan ruko yang menarik tadi sekejap tertutup oleh rentetan pedagang pakaian yang berdempetan  berusaha menawari kami barang dagangannya, tak peduli harus berhimpit di antara pedagang-pedagang lainnya. Hanya senyuman yang bisa kami berikan, sambil terus melangkah ke arah para pedagang sayuran yang sudah siap menawari barang dagangan mereka kepada kami.Â
Bau anyer semakin menusuk hidung saat kami mulai mendekati para pedagang ikan, namun akhirnya kami memutuskan untuk mencari tempat lain. Terus melangkah ke luar pasar, sudah terlihat seorang  gadis dengan rambut pirang menjajakan kaset sambil lagu dangdut menggema dari dalam rukonya. Kami berhenti disitu. Berkedok melihat kaset film kami mulai membuka pembicaraan. Baru saja dimulai, si gadis pergi dan digantikan oleh seorang wanita tua, yang akhirnya kami tahu namanya, Ibu Wanda, ibu kandung dari gadis tadi.
"harganya berapa bu?", kami berusaha memancing pembicaraan. "sepuluh ribuan mas" jawab ibu Wanda dengan wajah sumbringah, berharap kami benar-benar membeli dagangannya. Dari basa-basi itu kami mulai mengutarakan tujuan kami. Ia tampak tidak keberatan saat kami menyatakan niat kami untuk mengamati kondisi pasar tersebut. "Ya beginilah mas, sepi terus, dari pagi baru tiga yang laku." Kondisi ini sudah sering  terjadi sejak setahun yang lalu  ketika pasar itu mulai ditata dengan gaya yang dinginkan oleh pemerintah.
Ibu Wanda sendiri sudah memiliki dua orang anak. Anak pertamanya laki-laki putus sekolah. Tak jauh dari ruko kecilnya, sang anak menjadi server di tempat permainan Plays Station(PS) kecil milik mereka. Sedangkan gadis penjaga toko tadi adalah anaknya yang sudah tidak mau lagi meneruskan sekolahnya setelah lulus dari SMA.
 Sang suami juga dibelakang pasar menjual tanaman-tanaman. "Di rumah, kami jual pupuk juga mas," tutur bu Wanda sambil duduk di kursi kayu di depan ruko itu. Bukan tanpa alasan kenapa sang suami harus pindah ke belakang dan mengapa mereka harus membuka banyak usaha esek-esektersebut. Dari ceritanya kami mengerti, jalanan di depan ruko itu ternyata dulunya sangat ramai.Â
Penghasilan mereka cukup memuaskan, bahkan Karinem mengaku membeli ruko itu dengan harga Rp. 50.000.000. Namun semuanya mulai berubah saat pemerintah mulai melakukan penataan terhadap pasar tersebut. Mulai dari area parkir hingga pedagang ikan, semuanya ditata. Tampak dari pengamatan kami, penataan dan pengelompokan para pedagang sesuai dengan jenis dagangannya ini ternyata kurang menguntungkan para pedagang.
 Lorong kecil di depan ruko yang sudah ia tempati sejak tahun 1982 kini hanya sebatas tempat parkir motor yang sangat memprihatinkan. "tidak ada pohon atau apa gitu mas.. motor-motor panas dari pagi sampai sore..". Kondisi yang sama terjadi di semua area parkir di pasar tersebut.