Fenomena globalisasi dan kapitalisme dalam kehidupan sehari-hari menunjukkan paradoks yang menarik: keduanya membebaskan sekaligus membelenggu. Di satu sis, kita menikamti kemudahan luar biasa mulai dari memesan makanan hingga belajar dari ahli dunia hanya  lewat ponsel. Namun,  di balik kenyamanan itu, ada logika pasar yang menggerakkan segalanya.
Jika kita jeli mengamati, ruang percakapan kita mulai dari obrolan keluarga di grup WhatsApp hingga debat panas di Twitter telah berubah wujud. Perubahan ini bukanlah suatu kebetulan, melainkan konsekuensi langsung dari perselingkuhan antara globalisasi teknologi dan logika kapitalisme yang telah mengkomodifikasi setiap detik perhatian kita.
Secara teoretis, globalisasi dijanjikan sebagai pintu gerbang menuju masyarakat informasi yang egaliter. Namun, dalam praktiknya, pintu gerbang itu dikendalikan oleh perusahaan-perusahaan raksasa (Big Tech) yang beroperasi dengan prinsip kapitalisme lanjut. Mereka menawarkan platform komunikasi secara "gratis", tetapi sebenarnya kita, pengguna, bukanlah pelanggan. Kita adalah komoditas yang dijual. Data pribadi, pola perilaku, dan waktu yang kita habiskan di platform adalah barang berharga yang dilelang kepada pihak ketiga yaitu, para pemasang iklan.
Fenomena ini melahirkan apa yang oleh para ahli komunikasi disebut sebagai "ekonomi perhatian" (attention economy). Dalam ekonomi ini, perhatian manusia adalah sumber daya yang terbatas dan diperebutkan. Algoritma menjadi mesin penambang yang canggih. Mereka dirancang bukan untuk mempromosikan komunikasi yang sehat atau informasi yang bermutu, melainkan untuk memaksimalkan "waktu layar" (screen time) dan "engagement" seperti like, komentar, dan share karena metrik itulah yang langsung terkonversi menjadi pendapatan.
Di sinilah masalah utama bagi Indonesia muncul. Masyarakat kita yang majemuk, dengan literasi digital yang masih berkembang, sangat rentan terhadap mekanisme ini. Algoritma tidak memedulikan kebenaran atau nilai-nilai kerukunan. Ia hanya merespons apa yang viral. Akibatnya, konten yang penuh emosi, misinformasi, dan konten provokatif justru mendapat amplifikasi yang masif. Kita menyaksikan bagaimana komunikasi publik yang seharusnya menjadi sarana deliberasi demokrasi berubah menjadi arena adu domba digital. Perbedaan pendapat yang wajar menjelma menjadi permusuhan yang dikurasi oleh mesin pencari profit.
Contoh paling nyata adalah maraknya hoaks terkait isu politik dan kesehatan. Hoaks tentang pemimpin tertentu atau tentang vaksin COVID-19 menyebar lebih cepat karena algoritma media sosial yang didorong oleh logika kapitalis untuk menjaga agar pengguna tetap "terikat" secara tidak sadar memfasilitasi ruang gema (echo chambers) dan kamar gema (filter bubbles). Pengguna dijebak dalam lingkaran informasi yang hanya mengonfirmasi bias mereka sendiri, memecah belah solidaritas sosial.
Oleh karena itu, diperlukan kesadaran kritis kolektif. Kita tidak bisa lagi melihat platform komunikasi digital sebagai alat yang netral. Mereka adalah medan pertarungan ideologi ekonomi yang powerful. Solusinya bukan dengan menolak globalisasi, tetapi dengan memperkuat literasi digital yang membekali masyarakat untuk memahami mekanisme di balik layar. Regulasi yang membatasi monopoli data dan menuntut transparansi algoritma juga menjadi keharusan. Jika tidak, mimpi globalisasi untuk mempersatukan dunia akan berakhir menjadi mimpi buruk kapitalisme yang menghancurkan sendi-sendi komunikasi autentik kita.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI