Mohon tunggu...
Wilda Annisa Jamilatun
Wilda Annisa Jamilatun Mohon Tunggu... budak corporate

Wilda—pecinta matcha, si minuman hijau yang katanya rasa rumput tapi harganya bisa bikin dompet mikir dua kali. Lulusan hukum yang lebih sering berdamai dengan pasal-pasal daripada drama. Saya suka menulis, merenung, dan kadang menertawakan hal-hal serius biar hidup nggak terlalu tegang. Dalam diam, saya percaya: keadilan bisa lahir dari kata-kata yang tenang, dan perubahan itu seperti matcha—pahit di awal tapi nagih kalau sudah terbiasa, ngga percaya?? coba aja

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Kalau Perempuan Cuma Dapur, Kompor, dan Penggorengan Lalu Mimpinya Mau Dimasak Apa?

14 Juni 2025   13:40 Diperbarui: 14 Juni 2025   13:40 24
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Kadang aku mikir, mungkin hidup memang sebuah panci besar yang tengah mendidih. Dalam panci itu, ada kaldu patriarki, garam diskriminasi, merica sinisme, daun salam standar ganda, dan gula bias gender. Sementara perempuan --- yang katanya tak boleh punya mimpi lebih luas dari ukuran piring --- tengah diaduk-aduk sambil mencari rasa manusiawi yang tak kunjung matang.

Ini bukan soal melawan laki-laki, tapi melawan ukuran piring yang diberlakukan pada mimpi-mimpi manusia. Mengapa mimpi perempuan harus diberi takaran? Mengapa peran perempuan harus diberi resep? Mengapa saat diberi buku malah dianggap lebih berguna jika belajar memasak? Mengapa saat diberi peluang malah diberi serbet?

Padahal, mimpi tak punya ukuran piring. Mimpi punya sayap, akar, akar-akarnya dapat menembus beton sekalipun, mencari cahaya di bawah lapisan aspal, lalu mekar menjadi bunga matahari di tengah padang yang gersang. Dalam pikiran perempuan terdapat galaxy ide, sebuah tata surya yang tak terbatas, lebih luas dari dapur yang katanya menjadi takdirnya.

Kalau peradaban memang tengah dimasak, ya harus diberi bumbu kesetaraan, diberi kaldu keadilan, diberi rempah manusiawi, sehingga rasanya lebih enak, lebih bergizi, lebih manusiawi --- bukan malah diberi penyedap ajinomoto patriarki yang bikin perut mulas. Dengan hati yang melawan, pikiran yang tak terkurung, dan perlawanan yang tak kenal lelah, perempuan juga punya resep rahasia untuk membuat peradaban lebih matang --- lebih manusiawi --- lebih hidup.

Jadi, saat kau bilang mimpi perempuan hanya soal piring dan panci, mungkin kau memang tengah memasak masa lalu. Sedangkan perempuan tengah memanggang masa depan --- memanggangnya lebih matang, lebih garing, lebih renyah--- sambil sesekali diberi taburan garam perlawanan dan sejumput cabai kesetaraan.

Ini bukan saatnya menjadi koki yang patuh, tapi saatnya menjadi koki revolusioner. Mengaduk nasib, memanggang mimpi, dan menyajikan sebuah peradaban yang tak melulu satu resep saja.

---

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun