Mohon tunggu...
Wijatnika Ika
Wijatnika Ika Mohon Tunggu... Penulis - When women happy, the world happier

Mari bertemu di www.wijatnikaika.id

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Penuhi Hak Anak dengan Melawan Perkawinan Usia Anak

27 November 2020   04:58 Diperbarui: 27 November 2020   05:17 253
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Perkawinan usia anak adalah horror. Sumber: Banna Balleh di artstation.com

Sebenarnya, bukan perkawinan yang ditolak oleh pihak-pihak yang memperjuangakn revisi UU Perkawinan. Bukan pula hendak menolak kebaikan dan manfaat menikah atau menghalangi rezeki sebuah keluarga. Melainkan mengusahakan agar anak-anak Indonesia terlepas dari beban yang belum selayaknya ditanggung mereka. Terutama setelah disahkannya UU Perlindungan Anak No. 23 tahun 2002, yang diperbaharui dengan UU Perlindungan Anak No. 35 tahun 2014, yang sekaligus mengacu pada ratifikasi Konvensi PBB tahun 1989 tentang Hak-Hak Anak melalui Keputusan Presiden No. 36 tahun 1990 tentang Pengesahan Convention on the Rights of the Child (Konvensi tentang Hak-Hak Anak). 

Nah, sejak saat itu dunia harus melindungi hak-hak anak, seperti hak bermain, mendapatkan pendidikan dan kesehatan. Jadi, kalau anak-anak berusia dibawah 18 tahun dinikahkan, artinya orangtua, lingkungan dan negara melanggar hukum internasional yaitu Konvensi Hak-Hak Anak. Lagian, anak-anak yang masih senang bermain, belajar dan bahkan belum matang dalam konteks reproduksi kok dinikahkan. Sebab pernikahan itu bukan main-main, melainkan perkara serius.

BEDANYA NIKAH MUDA DAN PERKAWINAN USIA ANAK
Kita kan masyarakat yang hidup di zaman modern dan kita hidup dalam tatanan masyarakat yang dengan mati-matian diperjuangkan para pendahulu kita. Akses kita pada informasi juga jauh lebih terbuka dari peradaban manusia zi zaman sebelumnya. Sehingga, kita harus pandai membawa diri dengan berpikiran terbuka atas segala hal yang menyangkut kehidupan sosial, termasuk tentang perkawinan. 

Negara-negara di seluruh dunia sudah membuat aturan masing-masing, yang diperjuangkan berpuluh-puluh tahun lamanya bahwa perkawinan usia anak harus ditolak demi perlindungan kepada anak dan hak mereka. Sehingga, jika masih ada yang beranggapan bahwa perkawinan usia anak sah-sah saja dilakukan asal semua pihak yang terlibat setuju, maka apa bedanya kita dengan masyarakat zaman dulu yang level pendidikannya rendah dan akses kepada informasi serta layanan hukum dan kesehatan masih sangat sulit?

Kasus perkawinan usia anak yang sangat tinggi di Indonesia, bukan hanya membuat para pemangku kebijakan melakukan revisi atas UU Perkawinan sehingga batas minimal usia perkawinan bisa dinaikkan menjadi 19 tahun bagi lelaki dan perempuan. Namun, di level kabupaten hingga desa, sudah banyak upaya dilakukan dengan membuat kebijakan pencegahan perkawinan anak baik dalam bentuk Peraturan Daerah (Perda), Peraturan Bupati (Perbub) hingga Peraturan Desa (Perdes). 

Banyak cerita bahwa para pemuda desa cemas melihat dampak buruk perkawinan usia anak di kampung-kampung akibat kemiskinan akut, sehingga mereka tidak mau kemiskinan menjadi berlipat ganda dengan membuat warga berusia anak memasuki pernikahan. Bahkan, sejumlah pemuda yang menjadi korban perkawinan usia anak atas ambisi orangtua di Sulawesi, justru menjadi aktivis yang memperjuangkan perda pencegahan perkawinan anak.

Jika memang kebelet ingin menikah muda, tunggulah sampai berusia 20 tahun. Nggak perlu sok hebat melanggar hukum negara tentang perlindungan anak dengan mengatasnamakan agama. Lagian, sejak kapan agama Islam menyarankan prakterk perkawinan usia anak? Jika landasannya perkawinan Aisyah dan Nabi Muhammad SAW, kita harus lihat konteksnya bahwa itu terjadi di abad ke 6 M alias 1400an tahun silam. 

Di mana di hampir semua bangsa ya perkawinan usia anak lazim dilakukan, baik di kalangan bangsawan maupun rakyat jelata. Kalau kita mau bawa-bawa agama, maka yang harus kita jadikan pegangan adalah pernikahan Nabi Muhammad dan Khadijah, karena dari pernikahan itulah keturunan Nabi Muhammad (Ahlul Bait) ada sampai akhir zaman. 

Sumber-sumber sejarah menyebutkan, bahwa saat menikah Nabi Muhammad berusia 25 tahun dan Khadijah 40 tahun. Nah, kalau nabi yang jadi panutan menikah di usia 25 tahun, ngapain ummatnya ngebet nikah di usia belasan tahun? Kalau memang mau mengikuti sunnah Nabi, maka kaum lelaki dan perempuan sebaiknya menikah setidaknya di usia 25 tahun saat kondisi fisik, psikis, dan finanansial dalam keadaan prima.

Buat siapapun kamu, khususnya anak-anak muda baru hijrah, nggak usahlah menggampangkan pernikahan seakan isinya hanya hal-hal romantis. Pernikahan nggak sesederhana itu. Berkaitan dengan lelaki mungkin lebih gampang di mana tugas utamanya mencai nafkah. Namun bagi perempuan lain cerita. Perkawinan bagi perempuan adalah bicara tentang gizi, akses pada layanan kesehatan dan sanitasi, juga informasi terkait program-program pemerintah terkait kesehatan ibu dan bayi. 

Perlu juga diingat bahwa bangsa kita punya program nasional dalam menurunkan prevalensi stunting, di mana prevalensi stunting di Indonesia tuh melamapui batas yang ditetapkan WHO. Indonesia juga punya program Indonesia Layak Anak di mana program ini dikembangkan hingga ke level desa dan kampung. Kedua program yang saling berkaitan satu sama lain ini akan sulit tercapai jika generai mudahnya kebelet nikah pada usia belasan tahun.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun