Beberapa waktu terakhir makin sering bersliweran 'fakta', opini, 'kebenaran' di akun media sosial saya. 'Fakta', opini dan 'kebenaran' tersebut sering kali bertentangan satu dengan yang lain dan juga lebih sering kali bertentangan dengan apa yang disampaikan pemerintah. Yang menarik adalah semuanya itu dinyatakan oleh kaum intelektual dan kelas menengah yang bermain media sosial, paling tidak di media sosial saya.
Saya yang mau menelusur 'fakta', opini, dan 'kebenaran' tersebut terkadang merasa bingung, mana yang benar-benar truth atau kebenaran, dan mana yang bukan. Sementara, banyak orang yang tidak mau menelusur akan cenderung percaya pada 'fakta', opini, dan 'kebenaran' tersebut sebagai truth, apalagi yang sesuai dengan keyakinannya. Padahal 'fakta', opini, dan kebenaran tersebut bisa saja bukanlah truth, tetapi bisa saja berupa apa yang disebut dengan post-truth.
Artikel ringkas ini akan dimulai dengan paparan tentang truth dan post-truth. Kemudian, pada bagian kedua akan ditunjukkan 'fakta', opini, dan 'kebenaran' yang saya maksud. Artikel ini akan diakhiri dengan apa yang harus kita lakukan jika kita terpapar 'fakta', opini, dan 'kebenaran' di media sosial, melalui penjelasan tentang konsep opini dan fakta.
Truth dan Post-Truth
Kata post-truth menyita perhatian dunia saat tahun 2016 Oxford Dictionary menyebutnya sebagai word of the year. Donald Trump adalah orang yang berjasa mempopulerkan kata ini pada saat pemilihan presiden Amerika Serikat tahun 2016. Banyak klaim yang Trump lakukan tanpa didukung fakta, tetapi kemudian dianggap sebagai kebenaran oleh banyak orang atau yang kemudian disebut sebagai post-truth.
Orang bodoh bisa diajari. Namun, yang berbahaya adalah orang yang merasa tahu 'kebenaran' (yang sama sekali tidak didukung fakta) dan kemudian bertindak atas dasar keyakinan akan kebenaran semu yang tidak didukung oleh fakta tersebut. Dimulai oleh Donald Trump, post-truth ini menyebar kemana-mana termasuk dalam dunia politik di Indonesia.
Lalu, apa yang dimaksud dengan truth atau kebenaran? Dengan mengutip Aristoteles, Lee McIntyre dalam bukunya yang berjudul Post-Truth yang diterbitkan oleh Massachusetts Institute of Technology pada tahun 2018, mengatakan 'to say of what is that it is not, or of what is not that it is, is false, while to say of what is that it is, and of what not that it is not, is true'. Jika kita mengatakan yang sebenarnya sebagai bukan sebenarnya atau jika kita mengatakan yang bukan sebenarnya sebagai yang sebenarnya, maka kita disebut palsu. Kita disebut benar, jika kita mengatakan yang sebenarnya sebagai sebenarnya, dan yang bukan sebenarnya sebagai bukan sebenarnya.
Truth atau kebenaran sebuah pernyataan adalah pada seberapa sesuai pernyataan tersebut dengan realita. Sementara post-truth lebih berkaitan dengan perasaan bahwa sebuah pernyataan adalah benar. Dan, akhirnya kebenaran yang sesuai dengan realita akan dianggap sebagai kebohongan. Inilah bahayanya post-truth. Realita dianggap sebagai kebohongan, sementara pernyataan yang keliru karena sesuai dengan perasaan dianggap sebagai kebenaran. Si pembuat pernyataan yang kemudian menjadi post-truth bisa karena si pembuat pernyataan sengaja berbohong, acuh dan tidak mau mencek ulang kebenaran, sinis, atau karena delusi.
Contohnya adalah ketika Trump mengatakan bahwa perubahan iklim hanyalah hoaks yang dibuat oleh Pemerintah China untuk menghancurkan perekonomian Amerika Serikat. Mereka yang percaya kepada Trump kemudian akan menunjukkan bukti ilmiah yang sepotong-sepotong tentang tidak adanya kenaikan suhu bumi pada suatu periode tertentu.
Celakanya saat ini Indonesia tampaknya ada pada keadaan ini, khususnya saat kampanye Pilpres 2024 sampai saat ini.
Contoh 'Fakta', Opini dan 'Kebenaran': Mana yang Benar?