Mohon tunggu...
Widyo Andana
Widyo Andana Mohon Tunggu... Freelancer - Freelance content writer. Biasanya nulis sepak bola atau motorsport

Nobody can see the trouble I see. Nobody knows my sorrow

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Sudut Pandang Perokok yang Kadang Kalian Lupakan

11 Desember 2017   15:04 Diperbarui: 13 Desember 2017   02:07 1162
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi: Shutterstock

Dulu aku memang seorang perokok. Memang, menurutku, merokok itu lebih banyak 'mudharat' nya ketimbang manfaatnya. Ngga jarang juga, merokok juga mengganggu kenyamanan publik atau kebersihan lingkungan sekitar dengan puntung dan asap yg dihasilkan. 

Tapi, tau nggak sih sebenarnya apa alasan mereka merokok ? Buat kalian yg sering teriak anti-rokok, benci, ataupun aktipis anti-tembakau, pernah ngga bertanya sama perokoknya lamgsung atau berpikir kenapa mereka ngerokok ?

Well, let me express my thought about it. I think, there is something odd in our society nowadays. 

Seringkali mereka melabeli perokok sebagai pengganggu kenyamanan publik, careless dgn kesehatan, pengancam kesehatan orang di sekitarnya, bahkan pembunuh bagi dirinya sendiri dan orang lain, dan bla bla bla. Ya, memang banyak mudharat nya kan seperti yg aku bilang di atas. Tapi disini ane mau sharing nih apa sih yg dirasakan para perokok, yg dalam artian mereka merokok bukan karena ikut-ikutan biar ngehits.

Sebenarnya, mereka jarang dapet kesempatan untuk mencurahkan apa yg sedang mereka rasakan saat itu. Yang pasti, orang yg merokok bukan karena ikut-ikutan adalah mereka yg sedang memiliki masalah pada hidupnya. Apakah mereka sedang merasa kesepian, cemas, tertekan, diabaikan atau mendapat penolakan dari teman, orang yg dicintai, keluarga, masalah pekerjaan, atau orang di sekitarnya.

Sayangnya, pemerintah melalui Kemenkes dan dinkes lebih merhatiin kesehatan secara jasmani daripada kesehatan jiwa. Kelihatan sih dari post-post anggaran mereka yg dianggarkan melalui BPJS. Emang banyak sih yg punya penyakit jasmani, tapi di Indonesia justru lebih banyak yg punya penyakit jiwa. Dan penyakit jiwa juga bisa menjadi sebab dari penyakit jasmani. 

Nggak heran, yg dijadikan topik utama pakar kesehatan sm para aktivis anti-tembakau ya tentang kesehatan secara fisik. Kalo saja pemerintah lebih merhatiin kesehatan jiwa rakyatnya, dijamin jarang ada perokok atau angka orang sakit secara jasmani bisa berkurang. Jadi, sebenarnya bahaya yg laten itu pikiran-pikirannya, bukan jantung dan paru-parunya.

"kan sama aja perokok yg ikut-ikutan sm yg inisiatif. Sama-sama membahayakan kesehatan. Lha terus, bedanya apa ?" Begini, perokok yg ikut-ikutan itu nggak bisa menikmati nikmatnya merokok. Kelihatan kok dari gayanya yg grasa-grusu alias terburu-buru kayak speedboat yg melesat, kadang juga cuma biar dibilang keren dan kekinian. 

Kalau yg benar-benar ngerokok ngisepnya menikmati, istilahnya tuma'ninah seperti gerakan sholat. Dinikmati setiap hirupannya kayak kapal selam; tenang, menghanyutkan, pelan namun pasti. Satu hisapan bisa menghilangkan berbagai masalah, walaupun sementara. Satu batang rokok bisa menghasilkan 20-25 hisapan. Berapa banyak masalah yg hilang ? Hehe

Makanya, orang yg menderita Parkinson disarankan untuk merokok, biar bisa tuma'ninah mengendalikan gerak tubuhnya. Terlebih lagi, ngerokok bisa menghasilkan inspirasi dan ngilmu. Albert Einstein bisa menciptakan teori relativitasnya mungkin saat menghirup pipa cangklongnya. Sigmund Freud, Hemingway, Albert Camus, Sartre, Chairil Anwar, Pramoedya Ananta Toer, dll adalah kaum perokok yg bisa menghasilkan karya-karya yg mendunia karena aktivitas menghisap tembakau yg mereka lakukan.

Bisa jadi, semenjak itu rokok menjadi teman inspirasi dan berbagi rasa. Karena dirasa bisa memberi ketenangan sesaat, akhirnya diterusin alias kecanduan. Terlepas rokok mengandung zat-zat adiktif yg memberi efek rileks dan candu. Hampir kayak tahap-tahap pecandu, akhirnya keterusan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun