Suatu pagi yang indah, Macan Sang Raja Hutan mengundang Serigala dan Musang untuk berburu bersama-sama.
"Nanti, apapun hasil buruan kita, akan kita bagi dengan cara yang seadil-adilnya," titah Sang Raja.
Kedua rakyat kecil itupun berdatang-sembah:
"Ampun ke bawah Duli Paduka Tuanku, kami menerima apapun titah Paduka."
Singkat cerita, ketika memasuki rembang petang mereka pun mengakhiri perburuan itu. Dapatlah satu ekor banteng, satu ekor menjangan dan satu ekor ayam hutan.
Dan tibalah  waktunya untuk berbagi hasil jerih payah.
"Wahai Serigala dan Musang, sesuai titah beta tadi, sekarang giliran kita membagi hasil tangkapan ini dengan cara yang seadil-adilnya.
Cuma sebelum itu beta ingin mendengarkan dulu apa pendapatmu, wahai Serigala."
"Ampun patik Paduka Tuanku, menurut pendapat patik cara yang seadil-adilnya itu adalah apabila kita membaginya dengan cara menyesuaikan dengan ukuran perut kita masing-masing."
"Maksudmu...???"
"Maksud patik, karena Paduka yang paling besar maka Paduka mendapatkan banteng itu. Si Musang yang paling kecil kita kasih ayam hutan. Sementara menjangan ini, adillah kiranya menjadi bagian p.... "
Belum lagi tuntas Serigala menyudahi kalimatnya, secepat kilat tangan kiri sang Macan menyambar ke arah kepala Serigala. Meskipun sempat berkelit, tak ayal telinga kanannya kena sabetan kuku sang Macan sehingga robek dan tinggal separuh.
Seketika terbang semangat si Musang menyaksikan kejadian ini. Dalam keadaan tubuhnya yang menggeletar karena demikian takutnya, didengarnya suara Macan yang mengguntur bertitah kepadanya.
"Coba kau Musang, sekarang aku ingin mendengar pendapatmu. Macam mana kita membagi hasil buruan ini dengan cara yang seadil-adilnya?"