"Iya bentar lagi, dikit lagi," jawab saya sambil menahan pegel di berbagai persendian.
Ternyata jadi tukang cukur itu tak semudah yang dibayangkan. Seseorang yang punya skill mencukur rambut jelas harus lebih dihargai. Tidak semua orang punya bakat mencukur rambut. Saya pun berjanji dalam hati, besok-besok kalau cukur rambut bakal selalu ngasih tips lebih buat abangnya.
Akhirnya setelah selesai (atau dianggap selesai saja) mencukur rambutnya, saya pun meminta pendapatnya.
"Pokoknya aku nggak mau lagi dicukur sama Ayah!" seperti itu pendapat anak saya.
Sedangkan pendapat istri saya cukup singkat.
"Hahaha!" itulah pendapatnya.
Seminggu kemudian, saat saya bercermin, saya pun mulai melihat penampakan rambut yang mulai awut-awutan. Gejala gondrong "enjel" atau enggak jelas, mulai nampak. Sedangkan nyali untuk datang ke barbershop langganan belum muncul dalam diri saya.
"Yah rambutmu itu lho, udah nggak jelas bentuknya, sini aku cukur aja ya?" istri saya mulai menawarkan diri. Padahal saya ingat banget waktu itu dia pernah bilang nggak berani nyukur rambut saya.
"Sini ah aku cukur aja, kemarin kan aku baru motongin dahan pohon di teras, jadi udah terlatih megang gunting," ucap istri saya.
Hingga tulisan ini dibuat, rambut saya masih belum juga dicukur oleh siapapun.
"Ntar ah, aku mau cari barbershop yang pakai APD lengkap," itulah alasan saya.