Mohon tunggu...
Widdy Apriandi
Widdy Apriandi Mohon Tunggu... -

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Solitaire Addict # 1 ; Soal Diri (-diri) yang Imajiner

16 Agustus 2011   14:00 Diperbarui: 26 Juni 2015   02:43 60
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

(Catatan ramadhan-ku. Mencatat apa saja yang terjadi di bulan ramadhan, maksudnya barangkali begitu. Kalau tidur saja dinilai sebagai ibadah di bulan ini, semoga mencatat mendapatkan point yang lebih dari itu. Amien !)

Solitaire. Istilah ini tiba-tiba saja menjadi “sesuatu” yang favorit bagi saya. Terngiang-ngiang terus di benak saya sampai-sampai bikin saya penasaran ; ada apa ? Mungkin gara-gara kelewat sering memainkan game—yang kebetulan namanya itu—di komputer. Itu saya akui. Meski mubadzir memang, namun paling tidak itu lebih baik ketimbang tidak puasa sama sekali. Alasan yang lain ? Ini yang kemudian saya telusuri. Singkat cerita, jadilah si solitaire ini “memaksa” saya untuk mencari dan sekalian belajar (semoga ini juga ibadah…hehe).

Saya cari istilah ini di kamus bahasa inggris, ternyata solitaire berarti “permainan kartu seorang diri”. Kemudian dalam beberapa referensi lain, dengan makna yang diperluas, solitaire merujuk kepada karakter individu yang ekstremnya “asyik sendiri”. Sampai di sini, saya cukup tercengang sekaligus mengakui itu benar ; sejauh ini solitaire (baca : game) yang saya tahu memang bikin orang asyik sendiri. Dari organisasi kemahasiswaan sampai instansi pemerintah sekalipun, solitaire selalu eksis bukan ?

Abad Solitaire

Saya mencoba “menjamah” si solitaire ini dengan perspektif yang lebih besar. Kebetulan membaca lagi buku Hegemoni dan Strategi Sosialis karya Ernesto Laclau dan Chantal Mouffe, lantas ditambah renungan sendiri, akhirnya saya—minimal—berani bertanya bahwa bukan-kah “kita” memang sedang hidup di abad solitaire ? Laclau dan Mouffe berargumen bahwa kapitalisme telah sebegitu jauh mengeksploitasi ruang-ruang privat. Bukan saja merujuk kepada produk, pilihan-pilihan lain yang sifatnya individual pun dalam hal ini luar biasanya telah “difasilitasi”. Pilihan kecenderungan seksual dan pasar yang disediakan untuk itu misalnya. Kemudian, pilihan lain untuk bersosialisasi dengan istilah high tech, dunia maya, komunitas cyber dan sebagainya. Fantastik ! Artinya, “kita” memang tengah hidup di abad solitaire—“kita” bisa memilih untuk asyik sendiri.

Kemajuan (progress). Sementara wacana ini terus didengung-dengungkan, rupanya ada satu paradoks yang tertinggal atau—bahkan—terabaikan. Abad solitaire melahirkan diri-diri (individu) imajiner. “Mereka” bisa memulas dirinya sebagai pedagang, manusia baik yang siap jadi teman curhat dan atau apa saja. Di lain sini,“mereka” juga bisa sewaktu-waktu berteriak-teriak, mencaci, mengumbar frustrasi. “Mereka” tidak terlihat (unseen) dan sulit untuk dilacak, karena identitas yang dimuat dalam akun e-mail tidak melulu sahih—lebih sering absurd malah. Dalam ruang (space) sosial terkini, semisal Facebook, “mereka” ada !

Dalam porsi tertentu, kehadiran “mereka” bisa berarti bukan masalah. Tetapi, persoalannya jadi lain, ketika diri-diri imajiner tersebut membawa misi—dari yang bersifat ekonomis hingga politis sekalipun. Pada konteks ini, sudah sekian banyak orang yang tertipu akibat modus penjualan online. Terus, tidak sedikit pula yang diculik.

Lebih dari itu, yang paling mengkhawatirkan, adalah ketika “eksistensi” ini bermain api di ranah politis yang terus terang saja sensitif. Menyisakan keresahan, itu sudah pasti. Kata-kata, opini bisa dilemparkan bebas tanpa tanggung-jawab. Ini yang sejatinya berbahaya—apalagi di bulan puasa ! Pada puncaknya, tidak menutup kemungkinan demokrasi digeroroti. Lain dari itu, konflik sosial pun bisa saja pecah ke permukaan !

Telkomsel Ramadhanku

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun