Oleh: Bambang Wibiono
_
Saya sempat berfikir saat membaca sebuah postingan berita atau mungkin gosip lebih tepatnya. Seorang teman membagikan berita itu di media sosial dan mungkin sudah di-share oleh ratusan orang di berbagai media sosial. Saya tidak perlu menyebutkan nama medianya disini. Sebuah postingan tentang seorang istri pengusaha kaya yang kepergok selingkuh.Â
Diberitakan, sang suami yang mergoki istri sedang tanpa busana berdua dengan laki-laki lain. Sebenarnya itu hal yang umum dalam pemberitaan dan hal "lumrah" juga terjadi di sekitar kita. Yang menggelitik pikiran saya bukan soal selingkuhnya, tetapi dalam berita itu yang ditonjolkan adalah soal wanita berjilbab lebar. Dengan bahasa yang sinis dan terkesan menyindir simbol jilbab yang perilakunya tak pantas.
Pikiranku memaksa kembali mengingat teori-teori jaman masih kuliah. Teori tentang simbol, identitas, interaksionisme simbolik, dekonstruksi, diskursus sampai teori kekerasan simbolik ala Pierre Bourdieu kembali terngiang. Aahh, tapi lupa persisnya seperti apa teori-teori itu. Yang pasti, saat baca postingan berita itu, yang saya tangkap, ada simbol "jilbab" yang dimaknai sebagai identitas muslimah dengan predikat yang taat pada ajaran agama dan menjaga perilaku serta sikapnya.Â
Terlebih lagi, ditulis bahwa oknum perempuan itu berjilbab lebar. Disini terlihat kesan ingin menelanjangi simbol "jilbab lebar" sebagai identitas "muslimah" yang ternyata berperilaku bejat. Boleh dibilang, ada kekerasan simbolik dalam frame artikel atau berita itu yang seolah ingin menuduh islami pun bisa bejat. Tak lupa ditampilkan postingan media sosial sang oknum yang selalu menulis tentang hal-hal ajaran Islam, bahasa sederhananya "postingan relijius".
Ada upaya dekonstruksi atau membongkar makna bahwa perempuan berjilbab belum tentu baik perilakunya. Ada yang bilang bahwa sebenarnya jilbab dan akhlak itu sesuatu yang berbeda. Tapi biarlah itu ranahnya para ulama untuk membenar-salahkan dengan dalil-dalil. Saya hanya ingin mengomentari soal simbol dan identitas yang ditampilkan.
Flashback
Kita kembali dulu pada masa beberapa dekade ke belakang. Saat kerudung atau jilbab masih menjadi sesuatu yang eksklusif dan seolah menjadi simbol perempuan yang islami. Bahkan sempat ada pandangan, orang berjilbab adalah orang yang fanatik dalam berislam. Sampai pemerintah melarang perempuan mengenakan jilbab/kerudung di instansi-instansi pemerintah.Â
Bahkan untuk pas foto ijazah, dan kartu identitas lainnya tidak boleh mengenakan kerudung. Seiring berjalannya waktu, simbol jilbab pun diidentikkan dengan orang yang pemahaman dan ketaatan agama Islam yang khafah atau keyakinan yang sebenar-benarnya. Kalau umumnya perempuan tidak berkerudung, maka orang yang berkerudung dianggap antimainstream, diluar kebiasaan umum.