Namun terpaksa kutahan rasa ingin tahuku. Karena nampaknya bapak tua itu tak peduli sama sekali padaku. Lihatlah, matanya tetap terpejam dari tadi tanpa sedikitpun melihat kearahku. Atau bisa jadi dia memang tengah sibuk dengan dunianya sendiri, pikirku mencoba berprasangka baik.
Kembali kuteruskan lamunanku yang tadi terputus ketika mendengar suara si bapak tua. Ingatanku kembali melayang pada istriku yang tentunya akan bersedih saat nanti kukabarkan perihal berhentinya aku dari pekerjaan yang menjadi harapan satu-satunya bagi keluarga kami. Ditengah kondisinya yang mengandung pastilah berita itu akan memukul perasaannya. Bahkan mungkin ia akan merasa lebih terpukul daripada diriku sendiri.
"Ah, sudahlah, toh kita tak tahu hari esok seperti apa. Mudah-mudahan ada jalan terbaik bagi diriku dan keluargaku nantinya," kembali aku membatin pada diri sendiri. Lebih tepatnya mencoba menenangkan diri menghadapi situasiku saat ini.
Tiba-tiba suara klason mobil membuatku terkejut  untuk yang kedua kalinya. Kali ini aku lebih tersentak dibandingkan saat mendengar suara si bapak tua tadi. Mungkin karena suara klason itu terdengar sangat keras di telingaku. Atau bisa jadi karena kehadirannya memang sudah aku tunggu-tunggu sedari tadi.
Sebuah minibus  kira-kira berkapasitas dua belas orang  berhenti tepat di depan halte itu. Melalui tulisan yang ditempel di dinding bus aku tahu bahwa itu adalah minibus yang menuju ke kota tujuanku. Aku langsung mengangguk ketika supir menanyakan apakah aku akan menaiki minibus tersebut.
Saat supir mempersilahkan aku naik, aku langsung  bergegas berdiri dan meraih tas pakaianku yang sedari tadi tergelatak begitu saja dekat kakiku. Akhirnya aku pulang, pikirku antara senang dan juga gundah tentunya.
Tiba-tiba langkahku untuk menaiki minibus terhenti. Aku kembali teringat tentang bapak tua yang sedari tadi duduk bersamaku di halte bus. Bisa jadi ia juga bermaksud menunggu bus yang sama denganku, pikirku.
Kubalikkan tubuhku kearah bapak tua yang masih setia duduk bersandar di bangku halte. Sejenak aku terkejut. Tasbih kecil yang tadi berada dalam genggaman tangannya tanpak terjatuh di lantai halte dekat kakinya. Tangannya nampak terkulai di kedua sisi tubuhnya. Matanyanya masih terpejam. Namun tak kulihat lagi mulutnya yang komat kamit.
Tergesa kudekati dia. Saat kuguncang pundaknya, aku termangu. Tak tahu apa yang harus kuperbuat. Kudapati bapak  tua yang tak kuketahui nama dan kemana tujuannya itu hanya diam. Tubuhnya yang terkulai hampir roboh, ketika kuguncangkan. Hal yang  benar-benar membuatku terkejut untuk ketiga kalinya. Kali ini rasa terkejutku melampaui saat klason bus memanggilku. Tentunya juga melebihi rasa terkejutku beberapa saat yang lalu,  saat bapak tua itu mengatakan hilal telah nampak.