Mohon tunggu...
Hartanto
Hartanto Mohon Tunggu... Relawan - Wong cilik

Merindukan terwujudnya cita-cita luhur kemerdekaan: rakyat adil makmur berdasarkan Pancasila dan UUD 1945.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

"Pak, Jangan Biarkan Anak-anak Kami Dijadikan Generasi USB Drive"

7 April 2017   02:18 Diperbarui: 7 April 2017   17:30 2712
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Surat terbuka untuk Pak Jokowi dan Pak Muhadjir.

Pak Jokowi dan Pak Muhadjir yang saya hormati.

Sudah lama saya ingin membuat tulisan ini, tetapi malam ini barukesampaian. Semoga Pak Jokowi dan Pak Muhadjir bisa menyempatkan dirimembacanya. 

Tadi sepulang kantor, saya "ditodong" istri saya untukmengajar kedua anak kami (Nue kelas 4 SD dan Haez kelas 2 SD) yang besok ulangan Bahasa Jawa karena di rumah sayalah yang paling jago berbahasa Jawa. Senasib dengan jutaan pasangan muda di Indonesia, kami termasuk orang tua yg ikut "ulangan" setiap 3 bulan sekali. Pak, setiap kali saya memperhatikan bahan/materi ujian, hati saya merasa bergolak hebat karena melihat langsung prestasi atau tolok ukur keberhasilan anak hanya diukur dari sampai sebanyak apa yang bisa dia hapalkan. Persis seperti USB drive atau hardiskyang dihargai berdasarkan kapasitas simpannya, demikian juga anak-anak dihargai berdasarkan kapasitas dia menghafal, menghafal, dan menghafal, meski tanpa pemahaman atau penghayatan. Karena besok pas anak-anak akan ulangan Bahasa Jawa, berikut saya ambil contoh soal dan bahan dari pelajaran Bahasa Jawa saja ya.

whatsapp-image-2017-04-06-at-23-32-10-58e66f07f07a61193d5bb8af.jpeg
whatsapp-image-2017-04-06-at-23-32-10-58e66f07f07a61193d5bb8af.jpeg
whatsapp-image-2017-04-06-at-23-34-34-58e66f30f07a61073d5bb8af.jpeg
whatsapp-image-2017-04-06-at-23-34-34-58e66f30f07a61073d5bb8af.jpeg
Itu hanya sebagian dari bahan-bahan ujian yang harus dihafalkan. Di luar itu masih ada silsilah-silsilah keluarga, nama-nama samaran, nama-nama senjata, nama kerajaannya, dan masih ditambah kosa kata bahasa kromo, sebutan nama-nama anak binatang, sebutan suaranya, bahasa kawi, dan seterusnya, dan sejenisnya, ibarat anak-anak ini mau ikut seleksi jadi dalang, pemerhati budaya atau budayawan. Belajar yang seharusnya menyenangkan justru menjadi sesuatu yang melelahkan dan menjemukan karena anak harus berjumpa dengan nama-nama dan istilah yang jarang dan bahkan jauh dari hidup mereka sehari-hari. Akhirnya anak-anak terpaksa harus mengingat agar mendapatkan nilai yang baik dan setelah itu melupakannya. Tidak mengherankan jika budaya mencontek atau cari bocoran soal menjadi praktek yang subur dan akrab dengan dunia pendidikan kita! 

Padahal kalau guru menyajikan kisah-kisah wayang ini secara menarik, menceritakan kepahlawanan Pandawa, kebijaksanaan Punawakan, atau kejahatan Kurawa, lalu anak-anak secara bergiliran diminta menceritakan pelajaran apa yang mereka dapatkan, tokoh yang mana yang mereka kagumi, atau secara bergantian mereka dimotivasi dan diminta menceritakan ulang secara lisan, melalui tulisan, atau drama singkat dalam kelompok, maka proses internalisasi budi pekerti dan kebajikkan akan jauh lebih masif. Di samping itu mereka bisa sekaligus belajar berbicara di depan umum, belajar menghargai pendapat teman, dan belajar nilai-nilai yang luhur. Mungkin mereka tidak bisa menghafal banyak nama, namun mereka bisa sangat terkesan pada tokoh Semar yang bijaksana namun rendah hati, atau tanggung jawab Bima yang gagah berani. Nilai-nilai dan pelajaran mulia dari dunia wayang akan lebih mendarat dan tertanam di jiwa mereka. Internalisasi nilai-nilai luhur budaya dan kemanusiaan akan menetes dalam tertanam dalam jiwa anak-anak ini. Bukankah ilmu itu seharusnya membuat manusia semakin memanusiakan diri dan sesamanya?


Saya masih bisa menceritakan materi/bahan pelajaran lain yg tak kalah "mengerikannya" seperti Ilmu Pengetahuan Sosial , di mana anak-anak harus menghafal semua nama bangunan adat, nama senjata daerah, nama jenis-jenis tariannya, nama ibukota provinsi, hasil buminya, ditambah struktur dan fungsi lembaga2 pemerintahan daerah sampai pusat, dan seterusnya yang ... aarrrgghhhhh .... saya yakin mayoritas gurunya pun tidak bisa menghafal data-data dari semua mata pelajaran tersebut. Kalau masih sanksi, coba Bapak pinjam soal-soal ujian SD saat ini, dan lihatlah betapa anak-anak kami dibentuk menjadi "gudang" dan imitasinya Mbah Gugel. 

Pak Jokowi, masih jelas dalam ingatan saya betapa Pak Jokowi dulu pernah menyampaikan alokasi muatan pendidikan untuk tingkat SD: 80% muatan budi pekerti dan 20% pengetahuan dasar. Bukankah yang terus terjadi sampai saat ini adalah sebaliknya dan bahkan lebih parah lagi? Orang tua, anak, guru, dan sekolahan akhirnya terpaksa harus mementingkan angka-angka. Saya sudah sempat bertemu dengan guru wali kelas dan menyampaikan kegelisahan ini padanya. Beliau setuju dan merasakan hal yang sama, namun tidak berdaya karena itu semua menyangkut kebijakan penilaian sekolah dari dinas pendidikan. Piye jal? 

Rezim Angka-Angka vs Budi Pekerti

Pak, saya kok yakin bahwa metode pendidikan dasar ala USB drive ini memiliki andil yang besar terhadap parahnya kualitas dan rusaknya mentalitas para pejabat, birokrat dan politikus di negeri ini. Karena fondasi yang diletakkan di alam bawah sadar mereka adalah hidup itu dihargai dari angka-angka, maka ketika beranjak dewasa hal itulah yang mereka lakukan: berlomba menjabat dan berkuasa supaya dapat menambah angka-angka di rekening mereka, menambah jumlah aset atau istri/simpanan baru. Mereka sama sekali tidak punya rasa malu, mereka bangga hidup tanpa etika, mereka tidak punya rasa bersalah terhadap sesamanya, dan tidak memiliki rasa hormat dan takut pada Tuhan yang atas nama-Nya mereka telah disumpah. Ini terjadi karena sejak dari SD mereka sudah dibentuk hidup hanya untuk mengejar angka-angka. Tidak ada lagi ruang untuk budi pekerti, untuk hidup bermartabat, bermoral, jujur, bertanggungjawab, perduli dan welas asih terhadap sesama. Mereka sudah dididik secara kaku untuk mengkonversikan nilai-nilai kemanusiaan, etika, keunikan, perbedaan, pengertian, dan kreatifitas menjadi survival instinct untuk mendulang angka-angka tertinggi!

Pak, jangan biarkan anak-anak kami diperbudak rezim angka-angka. Bersegeralah menghentikan proses pendidikan justru mencekik benih-benih budi pekerti dan nilai-nilai kemanusiaan ini. Jangan lagi menyemai manusia-manusia yang pintar menyulap harga USB/UPS sampai milyaran rupiah. Jangan lagi mengawetkan metode pendidikan dasar yang hanya menghasilkan wakil-wakil rakyat yang tega bancaan uang sampai 2,3T. Jangan lagi mempertahankan sistem penilaian pendidikan dasar yang hanya menghasilkan pribadi-pribadi paranoid yang melihat kemajuan/prestasi orang lain sebagai ancaman. Lihatlah betapa mereka yang di Senayan sana, yaitu mereka yang kaya dengan angka-angka justru sering dicemooh dan dinista rakyat! Sebaliknya, lihatlah pasukan oranye di sungai-sungai, selokan, dan jalan-jalan, yaitu mereka yang kaya budi pekerti, hidup mereka lebih terhormat, bermartabat, dan lebih dihargai rakyat!

Please Pak... tolonglah kami saat ini... karena itu akan menolong Indonesia di masa yang akan datang. 

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun