Ok, katakanlah kita optimis. Upaya melibatkan masyarakat dalam memberantas korupsi adalah sesuatu yang sangat strategis. Walaupun dilain sisi, saya tidak sepakat bila harus dibayar. Pertimbangannya adalah selain akan membebani kas negara, hal ini tidak sejalan dengan konsep partisipasi. Seharusnya masyarakat diajak berpartisipasi secara sukarela dalam konteks ini.Â
Bagi saya ini bukan mengajak masyarakat untuk berpartisipasi membangun sebuah bangunan yang bermanfaat bagi mereka. Poin-poin yang mengatur tentang bonus, menurut saya harus dihapus dari peraturan ini.Â
Begini, kita pakai hitungan matematika sederhana saja; katakanlah 100 orang melaporkan kasus suap dan setelah dikaji semuanya memenuhi syarat, maka negara harus mengeluarkan uang ekstra sebanyak (100 x 10.000.000 = Rp. 1.000.000.000). Total jumlah ini akan dikeluarkan negara di luar biaya lain, belum termasuk uang negara yang sudah dicuri koruptor yang dilaporkan. Beban ekonominya justru akan lebih tinggi.
Kalau kita boleh belajar ke negara tetangga seperti Jepang, setiap orang, apalagi pejabat negara yang ketahuan korupsi akan dengan gentle mengundurkan diri, mengganti kerugian bahkan bunuh diri. Artinya disini ada unsur kerelaan. Dalam konteks upaya pencegahan korupsi dengan melibatkan partisipasi masyarakat, harusnya unsur kerelaan ini ada di dalamnya dan sekali lagi tidak boleh dibayar.Â
Kalau dibayar, maka sama juga dengan karekter para koruptor kita. Sudah jelas-jelas korupsi saja masih ngeyel. Masih membela diri sana-sini, walau benar mereka punya hak membela diri. Tapi bagi saya ini sudah tidak tahu malu. Nah, maksud saya disini adalah, kalau mau membantu negara keluar dari penyakit kronis ini, kita yang waras ya jangan jadi tidak waras. Mengharapkan imbalan dari negara juga bisa dikategorikan kita tidak waras. Hemat saya, jadilah sukarelawan untuk kemajuan bangsa dan negara dengan tampa pamrih. Setuju? Semoga!!!
Canberra, 11 Oktober 2018.
Welhelmus Poek
Candidate Master of International Development
University of Canberra