Mohon tunggu...
Weinata Sairin
Weinata Sairin Mohon Tunggu... Pemuka Agama - Teologi dan Aktivis Dialog Kerukunan

Belajar Teologia secara mendalam dan menjadi Pendeta, serta sangat intens menjadi aktivis dialog kerukunan umat beragama

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Refleksi Minggu | Mengejar 6 Hal Penting

25 Juli 2021   06:00 Diperbarui: 25 Juli 2021   06:25 87
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

"Tetapi engkau, hai, manusia Allah, jauhilah semuanya itu, kejarlah keadilan, ibadah, kesetiaan, kasih, kesabaran, dan kelembutan."
(1 Timotius 6:11)

Keunggulan manusia dibanding makhluk lain yang Allah ciptakan adalah manusia memiliki nilai-nilai moral, etik, dan spiritual yang sekaligus menjadi penanda dari kemanusiaannya. Istilah moral, etik, dan spiritual ini patut dicatat, karena beberapa kali masuk dalam teks dokumen GBHN, sehingga dalam pidato atau ceramah, figur selevel Pak Sim (T.B. Simatupang) pun acap kali mengutipnya.

Menurut rumusan GBHN di zaman itu, agama-agama harus memberikan landasan moral, etik, dan spiritual bagi Pembangunan Nasional Sebagai Pengamalan Pancasila (PNSPP). Sebagaimana kita ketahui, rumusan dan singkatan PNSPP itu sendiri adalah rumusan yang aslinya berasal dari Pak Sim, di sebuah acara Konferensi Gereja dan Masyarakat (KGM) di Klender, Jakarta, pada tahun 1976. 

Rumusan PNSPP dipopulerkan saat itu untuk memberi garis bawah dan penegasan, bahwa aktivitas pembangunan nasional di negeri ini mesti dilaksanakan dalam konteks pengamalan semua sila dari Pancasila secara seimbang dan dalam kesatuan yang utuh.

Artinya, pembangunan bukanlah hiruk-pikuk membagi proyek, atau siapa mendapat berapa 'kue', melainkan lebih kepada implementasi praksis dari nilai-nilai luhur Pancasila. Itulah imperatif GBHN bagi agama-agama di zaman itu. Agama-agama diposisikan pada proporsinya, yaitu memberi landasan moral, etik, dan spiritual bagi sebuah aktivitas pembangunan.

GBHN tidak dalam kapasitas memerintahkan para penyelenggara negara untuk membawa dan/atau mengutip ayat-ayat kitab suci suatu agama ke ruang publik, karena NKRI bukan negara agama melainkan negara yang berdasarkan Pancasila dan UUD 1945, yang seluruh warganya beragama.

Roh dan spirit nilai luhur agama yang universal itulah yang seharusnya menapasi gerak pembangunan dan bukan eksplisit ayat-ayatnya, dengan ruang multitafsir yang amat luas. Tatkala kekristenan mulai tampil di tengah masyarakat umum maka kekristenan melalui umatnya harus mampu tampil beda dengan keunikan yang ia miliki. Penampilan yang standar dan tidak atraktif serta eye-catching tidak dapat memberi pengaruh dan penetrasi apa pun.

Dalam konteks itu, Timotius mengingatkan warga Gereja agar sebagai manusia milik Allah ("manusia Allah"), mereka menjauhi perilaku negatif yang ia sebut di bagian sebelumnya. Timotius memerintahkan agar umat "mengejar" enam hal penting dan utama: keadilan, ibadah, kesetiaan, kasih, kesabaran, dan kelembutan. Keenam perilaku dan perangai ini amat mendesak untuk diimplementasikan di ruang-ruang kehidupan kita di zaman ini.

Tanpa itu, kekristenan hanya sebuah nama dan tanpa nyawa!

Ditengah perjuangan kita bersama sebagai warga bangsa untuk melawan Virus Covid 19 dan berbagai variannya, 6 hal yang ditegaskan dalam surat kepada Timotius itu besar maknanya untuk dijadikan acuan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun