Mohon tunggu...
Weinata Sairin
Weinata Sairin Mohon Tunggu... Pemuka Agama - Teologi dan Aktivis Dialog Kerukunan

Belajar Teologia secara mendalam dan menjadi Pendeta, serta sangat intens menjadi aktivis dialog kerukunan umat beragama

Selanjutnya

Tutup

Filsafat Pilihan

Yesus Kristus: Di Kayu Salib Memikul Aib Seluruh Umat Manusia, Menuju Terwujudnya Dunia Berkeadaban

2 April 2021   20:35 Diperbarui: 2 April 2021   20:42 854
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
https://internasional.kompas.com/

Refleksi Hari Jumat Agung-Hari Kematian Yesus Kristus 2 April 2021.
YESUS KRISTUS :
DI KAYU SALIB MEMIKUL AIB
SELURUH UMAT MANUSIA,
MENUJU TERWUJUDNYA DUNIA BERKEADABAN.

Oleh Weinata Sairin

Jalan derita, jalan sengsara, tak seorang pun yang mau memimpikannya, menjadikannya obsesi, apalagi yang sedia untuk menapakinya. Siapa pun akan berupaya menghindarinya,  untuk menolak dan menjauhinya.  Orang tentu lebih suka untuk menelusuri jalan-jalan yang penuh sukacita, tawa-ria. Ya, sesuatu yang logis; sesuatu yang biasa.  Namun, apa yang dilakukan Yesus adalah kebalikannya. Ia justru lebih suka meniti jalan sengsara; Ia lebih siap untuk menempuh jalan salib dalam rangka menyelamatkan manusia.

Alkitab mendeskripsikan dengan amat jelas dan lugas kesengsaraan yang dialami Yesus hingga saat-saat kematian-Nya.  Dari pengungkapan Alkitab,  penderitaan dan kematian Yesus di kayu salib bukanlah sesuatu yang tiba-tiba saja terjadi.  Jalan sengsara dan jalan kematian adalah sesuatu yang memang menjadi alternatif yang dipilih oleh Yesus sendiri dan bayangan tentang itu sudah sejak awal Ia nyatakan.  Itulah sebabnya Yesus menolak dengan tegas ketika murid-murid berusaha mengurung Yesus dalam tenda di gunung kemuliaan (Mat.17:1-13), dan justru turun meninggalkan gunung itu untuk menempuh penderitaan di Yerusalem.  Beberapa kali para murid diberitahu oleh Yesus  bahwa Ia harus pergi ke Yerusalem dan meminum cawan penderitaan di kota itu (Mrk.8:31 dst). Ia konsisten dengan misi-Nya, Ia tidak lari dari penderitaan,  Ia datang menyongsong bahkan merangkul penderitaan, betapapun getir dan pahitnya karena Ia memiliki komitmen untuk itu.

Sinisme, hujatan dan cemooh dari banyak orang  mewarnai saat Yesus menderita di kayu salib. Mahkota duri ditaruh di atas kepala-Nya, sebatang buluh diletakkan pada tangan kanan-Nya,lalu orang-orang mengejek Yesus, meludahi-Nya  dan memukul kepala Yesus dengan buluh (Mat.27:29-30). Penderitaan dan kesengsaraan Yesus lengkap ketika orang-orang yang lewat di sekitar salib itu mengejek Dia: "Jika Engkau Anak Allah, turunlah dari salib itu! Orang lain diselamatkan tetapi diri sendiri tak dapat Ia selamatkan" (Luk.23: 25 dst). Yesus tak menyerah kalah oleh sinisme, cemooh dan hujatan. Ia tetap tegar dan konsisten. Pilihan-Nya tidak berubah: Jalan kematian mesti ditempuh, supaya manusia dapat merengkuh kehidupan sejati, mengalami perspektif masa depan.

Kematian Yesus adalah kematian yang riil dan faktual, bukan maya dan hanya ada dalam dunia ide. Ia merasakan kesepian dan kesendirian ketika berhadapan dengan kematian, sehingga kemanusiaan-Nya mengaduh: "Allah-Ku, Allah-Ku mengapa Engkau meninggalkan Aku?" (Mat.27:46). Penderitaan dan kematian Yesus menginspirasi beberapa hal kepada kita yang tengah menghidupi kekinian dunia.

Pertama, Yesus mengajarkan bahwa  keberpihakan kepada manusia  dan komitmen untuk memberi perspektif masa depan baru bagi manusia adalah segala-galanya. Keberpihakan dan komitmen itu tidak berhenti menjadi slogan, jargon dan program,  tetapi sesuatu yang riil dan operasional, sesuatu yang bersifat action. Walaupun untuk mewujudkannya kita mesti menderita, harus kehilangan segala-galanya, bahkan kehilangan diri sendiri.

Kedua, Yesus tidak sekadar menjadi guru yang menunjukkan dan mengajarkan sesuatu, tetapi Ia sekaligus menderita dan mempraktikkan apa yang Ia ajarkan itu. Tidak ada ambivalensi dan dikotomi antara perkataan dan tindakan Yesus; artinya keduanya bersifat integral dan menyatu. Apa yang Ia ajarkan, itu juga yang Ia lakukan.

Ketiga, Yesus concern dengan semua umat manusia tanpa mempertimbangkan ke-siapa-an manusia itu, tanpa dibelenggu oleh pemikiran primordialistik.  Yesus benar-benar mempraktikkan sikap hidup inklusif di tengah-tengah perjalanan pelayanan-Nya. Kematian-Nya di kayu salib benar-benar terarah bagi semua umat manusia, bukan hanya untuk sekelompok orang.

Sikap inklusif seperti itu harus menjadi nada dasar  serta gaya hidup gereja-gereja, bahkan masyarakat dan bangsa di dalam masyarakat majemuk Indonesia. Dalam semangat inklusif itulah kita berjuang terus membangun rumah besar Indonesia yang di dalamnya semua orang dari berbagai suku, agama, etnik dan golongan dapat tinggal bersama dengan penuh persaudaraan dan saling menghargai,  tanpa rasa takut, curiga dan was-was. Tatkala Gereja merayakan Hari Jumat Agung-Hari Kematian Yesus dikayu salib,maka kesengsaraan Yesus  harus menjadi model bagi Gereja dan kekristenan di Indonesia untuk mebampilkan dirinya.

Tindakan Yesus yang menempuh jalan salib-bukan jalan revolusi, jalan kekuasaan, atau jalan apapun menjadi sumber inspirasi bagi Gereja dalam menolong mereka yang terpapar Virus, mereka yang makin miskin dan melarat terdampak Virus, mencari solusi melawan terorisme global, merawat mereka yang luka dan depresi dihantam turbulensi kehidupan, menjaga dan membangun rumah besar Indonesia tanpa jemu dan lelah.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun