Indonesia, bangsa yang masih muda. Sebagai salah satu generasi Indonesia yang lahir di tengah era Orde Baru, saya tidak bisa mengingat bagaimana warga Indonesia keturunan Tionghoa merayakan Tahun Baru Imlek di masa kecil saya. Saya bahkan tidak menyadari bahwa itu ada. Baru beberapa tahun yang lalu saya mulai belajar tentang apa itu Tahun Baru Imlek di Indonesia.
Kebijakan asimilasi rezim Soeharto dari tahun 1965 hingga 1998 melarang menampilkan aktivitas yang berhubungan dengan Tionghoa di depan umum, termasuk simbol dan bahasa. Setelah beberapa dekade diskriminasi, orang Tionghoa-Indonesia kemudian diizinkan untuk merayakan Imlek secara terbuka, terima kasih kepada mantan presiden kita, mendiang Abdurrahman Wahid (Gus Dur), yang pada tahun 2001 mencabut larangan ekspresi budaya dan bahasa Tionghoa di Indonesia.
Namun, kebebasan berekspresi Tionghoa ini tidak mengubah cara hidup warga keturunan Tionghoa untuk merayakan Tahun Baru Imlek. Warga keturunan Tionghoa telah tinggal di negara ini selama beberapa generasi, dan memilih untuk hidup sebagai orang Indonesia. Bahkan, kawan saya selalu menganggap dirinya sebagai orang Indonesia pertama dan China kedua. Ia merasa bahwa dirinya memiliki lebih banyak kesamaan dengan sesama orang Indonesia daripada dengan leluhur yang tidak dikenal di suatu tempat di negeri China.
Tapi ia percaya menjadi orang keturunan Tionghoa adalah tentang budaya dan tradisi, bukan agama. Perjalanan seluruh generasi Tionghoa-Indonesia mengawali hidup melalui hilangnya budaya dan bahasa Tionghoa karena larangan tersebut. Banyak yang mungkin telah melupakan tradisi dan meninggalkan latar belakang budaya etnis mereka. Bahkan ada yang harus mengganti agamanya di KTP dengan yang diakui pemerintah Orde Baru. Kedua, pemberian hari libur untuk perayaan Imlek dengan menempatkan Tahun Baru Imlek setara dengan hari-hari suci agama.
Tidak ada kelompok budaya lain yang memiliki hak istimewa untuk merayakan festival khusus mereka sebagai hari libur nasional, karena hampir semua hari libur nasional menandai upacara keagamaan. Meskipun mungkin sebagian pihak menganggap budaya etnis Tionghoa hampir eksklusif sebagai agama, sebenarnya itu hanyalah budaya dan tradisi yang telah ada di negara ini sejak abad ke-15.
Sejarah telah memberikan eksklusivitas budaya Tionghoa, dan belakangan ini menjadi lebih positif misalnya undang-undang tentang penghapusan diskriminasi ras dan etnis pada tahun 2008. Namun, masih banyak pekerjaan yang harus dilakukan untuk menuju kerukunan di Indonesia yang pluralis. Salah satu pendekatannya adalah membuka budaya Tionghoa dengan selalu membawanya ke pusat perhatian negara.
Secara alami, orang Tionghoa-Indonesia sendirilah yang paling bisa menonjolkan budaya Tionghoa di masyarakat. Oleh karena itu, penting bagi orang Tionghoa-Indonesia, terutama generasi muda, untuk memahami budaya dan tradisi dasar mereka sendiri. Mereka dapat belajar memasak, membaca, menyanyi, bermain musik, dan berolahraga dengan cara yang dianggap sebagai bagian dari budaya Tiongkok. Mereka juga dapat belajar dari orang tua tentang sejarah, norma, adat istiadat, dan kepercayaan keluarga mereka.
Lebih lanjut, orang Tionghoa-Indonesia perlu mengenalkan identitasnya terlebih dahulu, sebelum mengekspresikan budaya dan tradisinya.
Sangat penting bagi orang Tionghoa-Indonesia untuk menunjukkan lebih sedikit rasa takut tentang identitas mereka.
Untuk menghindari birokrasi atau sentimen negatif publik, seringkali beberapa orang Tionghoa-Indonesia memiliki kecenderungan untuk menyamarkan atau mengecilkan identitas budaya mereka.
Semakin banyak orang Tionghoa-Indonesia terbuka, semakin baik masyarakat akan memahami budaya mereka. Menyembunyikan identitas tidak hanya menimbulkan rasa ingin tahu dan kecurigaan, tetapi juga asumsi yang menyesatkan.