Alih-alih sebagai langkah besar antara Turki dan Israel, diawali dengan pernyataan Recep Tayyip Erdogan yang mengejutkan sebagian kalangan. Seperti yang dilansir banyak media massa, mengutip laman Haaretz, "Israel needs a country like Turkey in this region. We, too, should admit that we need a country like Israel," Erdoğan told journalists on a flight back from an official trip to Saudi Arabia. "This is a regional fact. We need to see it."
Presiden Turki ini mengungkapkan bahwa jika Israel dan Turki menerapkan langkah-langkah yang diperlukan berdasarkan ketulusan, "Normalisasi secara alami akan terjadi." Prasyarat untuk normalisasi adalah 'akses tak terbatas' bagi Turki untuk membantu menyediakan listrik dan bahan bangunan ke Jalur Gaza. Israel telah menyepakati dengan pencabutan embargo terhadap Jalur Gaza jika seluruh bantuan yang melintasi Jalur Gaza berasal dari Turki.
Israel juga telah menyepakati untuk meminta maaf terkait insiden Mavi Marmara - kapal yang terlibat dalam insiden Freedom Flotilla. Masalah penting yang lain, bagi Turki adalah status quo Masjid Al-Aqsa. Turki hanya menyisakan kesepakatan normalisasi tidak terkait dengan Hamas. Israel meminta kepada Turki untuk mencegah Salah Aruri, memasuki wilayahnya. Namun, Israel tidak pernah memastikan kehadiran Aruri di Turki. Telah beredar di media massa, satu bulan lalu, Erdogan mengadakan pertemuan tertutup dengan Kepala Hamas, Khaled Meshaal, namun isi pembicaraan tersebut tidak pernah terungkap.
Berbeda dengan keterangan resmi yang dirilis Organisasi Mavi Marmara, seperti dikutip laman info Palestina, terkait dengan pembahasan antara Turki dan Israel untuk mengembalikan hubungan secara normal. Mavi Marmara menyatakan, “Normalisasi hubungan antara Turki dan Israel secara khusus akan merugikan Palestina, Turki dan Umat Islam secara umum.”
Mungkin ada benarnya, sebab selama ini agresi militer Israel beralasan bagian dari strategi nasional Israel dengan tujuan melemahkan gerakan perjuangan rakyat Palestina melalui kelompok-kelompok militer di Palestina. Era Fatah saat kuat, Israel menyerang Fatah, lalu ketika PLO memiliki sayap politik dan militer, Israel juga menyerangnya, saat ini dimana Hamas menjadi kekuatan politik dan militer, maka Israel pun berupaya melemahkannya. Apalagi, Hamas di mata 'saudara kandungnya' Amerika Serikat merupakan organisasi teroris yang resmi tercatat di dalam Foreign Terrorist Organizations (FTO) yang dikeluarkan Kementerian Luar Negeri AS (Secretary of State).
Ada sebagian kalangan melihat hubungan normalisasi Turki Israel tidak didasari ketulusan. Mengingat, kedua negara telah menikmati hubungan yang erat sejak tahun 1990. Saat itu pandangan umum dunia, terdapat aliansi militer yang kuat, pertumbuhan perdagangan, dan budaya. Hubungan bilateral ini memiliki "potensi untuk mengubah peta strategis kawasan Timur Tengah, untuk membentuk kembali aliansi Amerika Serikat, dan mengurangi isolasi wilayah Israel."
Kemudian berkembang, sejak Partai Keadilan dan Pembangunan Turki memenangkan Pemilu 2002, yang berdampak menjauhkan hubungan Turki Israel, dan sebaliknya 'hubungan memanas' dengan Hamas di Jalur Gaza. Insiden Mavi Marmara, mengalami puncaknya, dan kompensasinya adalah 'normalisasi Turki Israel' dibangun kembali.
Terdapat kesalahan besar, saat Turki menembak jatuh pesawat Rusia yang telah menyimpang ke wilayah udara Turki. Sementara, pihak Rusia mencatat 2.244 pelanggaran wilayah udara Yunani oleh pesawat militer Turki pada tahun 2014. Putin pun gusar. Erdogan segera mengambil langkah cepat 'bersalaman kembali' dalam skala besar dengan NATO, dan Israel Mesir pada rasio kecil.
Sebuah laporan bertajuk Israel, Turkey Poised to Renew Diplomatic Relations diungkapkan bahwa normalisasi Turki Israel untuk menutup insiden Mavi Marmara dengan permintaan maaf Israel, dan mengakhiri seluruh kegiatan Hamas di Turki. Masih dalam artikel tersebut, Israel menjadi peluang baru bagi Turki untuk mendapatkan gas alam bagi negaranya. Sebelum ini, Turki memperoleh gas alam dari Rusia. Namun, hubungan Turki Rusia menjadi porak porada setelah Turki menembak jatuh pesawat Rusia, akhir bulan lalu.
Semangat normalisasi Turki Israel, berbeda jauh dengan apa yang dialami Indonesia.
Tanggal 4 Januari 2016, Makarim Wibisono, Pelapor khusus PBB mengenai situasi di Palestina, memilih mundur dari posisinya. Beliau kecewa karena permohonannya untuk bisa berkunjung ke Tepi Barat dan Jalur Gaza tidak direspons oleh Israel. Padahal, pengajuan Makarim diajukan sejak 18 bulan lalu. Dalam sebuah wawancaranya di laman merdeka, "Saya mau membuat laporan sesuai pandangan mata saya sendiri. Karena itu, saya meminta akses kepada pemerintah Israel supaya bisa masuk ke sana (wilayah Jalur Gaza dan Tepi Barat)."