Tidak akan ada habisnya ketika membicarakan tentang Papua. Topik tentang Papua yang semakin menghangat ini turut memunculkan berbagai analisis hingga konspirasi. Kerumitan yang mengiringi keberadaan papua jika dilihat dalam bingkai NKRI menciptakan beberapa kesimpulan. Dalam satu sisi, kita melihat pemahaman betapa berharganya Papua yang disebut sebagai surga dunia. Namun satu sisi lainnya, Papua telah menjadi magnet bagi para pemburu keuntungan demi mempertahankan kepemilikan status sebagai adikuasa dan adidaya.
Berbagai analisis datang, pada akhirnya Papua ditempatkan memiliki cerita sendiri dalam kubangan intervensi. Bahkan, Papua menjadi objek yang menggoda bagi pihak di luar sana.
Perdebatan dan konspirasi pun tidak bisa dielakkan. Makna keduanya lebih mudah dicerna oleh publik yang membutuhkan penjelasan lebih sederhana mengenai "Sebenarnya apa yang sedang terjadi di sana?".
Amerika dan Eropa memegang peran sebagai pendulum, sebut saja begitu. Mereka memiliki kepentingan dekolonialisasi (pembongkaran terhadap semua struktur ekonomi, politik, sosial- budaya yang merintangi proyek emansipasi nasional). Pada saat itu, Belanda langsung menancapkan kuku kolonialnya di Papua, sementara Amerika perlahan memasuki Papua dengan membawa nama demokrasi.
Kebebasan tidak bisa didapatkan begitu saja oleh rakyat Papua. Sejak penemuan gunung emas di tahun 1950 silam membuat mereka mengalami kesulitan dalam memaknai kebebasan yang hendak disematkan kepada mereka. Pepatah "There is no such thing as a free lunch" sudah melekat di kepala rakyat Papua yang tersadarkan oleh pasar bebas.
Paradigma tersebut telah dijelaskan beberapa ilmuwan. Sejarawan dari Australia, Greg Poulgrain misalnya dan sejarawan lain sudah lama melakukan kajian mengenai adanya konspirasi kuat yang menjadikan Papua sebagai objek eksploitasi. Meskipun di atas kepentingan kesejahteraan maupun sebatas eksploitasi, bila dikaitkan dari peran John F. Kennedy dan Allen Welsh Dulles, pintu intervensi terbuka lebar.
Sejujurnya, bahasan mengenai geopolitik yang berada di Papua dalam peta dunia tidak bisa dihindari. Pasar bebas dan globalisasi berdiri tegak di bawah liberalisme yang telah mengikat satu sama lain dalam berbagai kepentingan membutuhkan mangsa untuk dikuasai. Jika nantinya negara-negara lain ikut andil, maka hal tersebut merupakan bagian dari keniscayaan sejarah.
Jika membaca gambaran besar terkait keadaan Papua memang penting untuk selalu digaungkan agar kita terus memiliki acuan dalam bertindak dan mengambil kebijakan. Sebagaimana yang tertulis di UU 1945 dan Pancasila, menjadi alasan utama mengapa kebijakan-kebijakan yang diajukan oleh negara harus senantiasa kita kritisi dan evaluasi.
Rasa kegelisahan dalam ruang publik Papua sampai hari ini masih bisa dirasakan. Negara sudah seharusnya hadir dalam berbagai segmen dan fragmen aspirasi tanpa mengucilkan mereka termasuk pengabaian atas fundamental kebangsaan dan kenegaraan tidak bisa didiskriminasi.
Mendengar kata pihak asing, pandangan publik langsung tertuju pada perburuan keuntungan, perebutan, dominasi bahkan menganggap sebagai ancaman. Pentingnya demokrasi di Tanah Air membuat publik Papua tersadar bahwa kebebasan bukan sebagai slogan perlawanan melainkan Hak Asasi Manusia (HAM) yang harus terus diperjuangkan.
Indonesia perlu memerangi ketertinggalan, kebodohan, dan kemiskinan. Jika ada ketiganya, maka makna kemerdekaan dan kebebasan sebagai manusia maupun warga negara tidak akan tercipta. Jadi, saat negara tidak hadir dalam berbagai keluh kesah rakyat Papua menjadi kelaziman yang membutuhkan ruang untuk terus disuarakan dan didialogkan.