Sudah waktunya Presiden Jokowi memikirkan dan mempertimbangkan sosok pendampingnya di Pilpres 2019 nanti yang berlatar belakang ekonomi. Bukan apa-apa, sudah tak terhitung Jokowi merasa kecewa karena pertumbuhan ekonomi Indonesia tak kunjung membaik.
Di tengah pertumbuhan ekonomi 2017 yang tidak mencapai target dan hanya mandeg di angka 5,07 persen, APBN justru malah semakin naik. Semakin besar APBN, rasio utang terhadap PDB tentu juga akan semakin meningkat.
Padahal, tiap tahun APBN disusun dengan nilai fantastis; Rp.2.000 triliun lebih, bahkan terus meningkat. Â Namun sayang, hal ini bukan ditopang oleh surplus penerimaan negara, melainkan ditopang oleh tambahan utang baru. Akibatnya, Dirjen pajak pun terseok-seok mengejar target pajak. Saking ngebetnya, usaha-usaha mikro seperti Warteg (warung makan Tegal) diuber-uber pajak usahanya.
Tak bisa dipungkiri dan harus diakui, bahwa dalam tiga tahun lebih Presiden Jokowi berkuasa, rasio utang terhadap PDB terus meningkat. Meskipun pemerintah selalu mengelak bahwa rasio utang Indonesia masih jauh lebih baik dari negara emerging markets lainnya. Namun, anehnya, realisasi utang belum menggambarkan atau mengkompensasikan sesuatu yang konkret bagi peningkatan kesejahteraan masyarakat.
Entah benar atau tidak, namun yang pasti, maraknya kabar terkait Indonesia kebanjiran pekerja imigran asing seolah mengkonfirmasi publik, bahwa arus investasi yang begitu besar dan realisasi utang, belum memberi manfaat maksimal bagi masyarakat Indonesia. Justru yang ada Indonesia seakan ikut andil mengurangi angka pengangguran negara lain. Bukan negaranya sendiri.
Melihat realita dan fakta carut-marutnya kondisi ekonomi bangsa saat ini, sudah sepantasnya Jokowi memilih pendamping yang berlatar belakang ekonomi, memiliki jaringan internasional luas dan kuat, serta piawai dalam menjaga stabilitas perekonomian Indonesia. Dan satu-satunya sosok yang tepat dan memiliki kriteria tersebut adalah, Hary Tanoesoedibjo.