Mohon tunggu...
Warta Hukum
Warta Hukum Mohon Tunggu... -

narasi tentang apa, siapa, di mana, kapan, mengapa lalu bagaimana di seputar dunia hukum.

Selanjutnya

Tutup

Catatan Pilihan

Catatan untuk Jaksa Agung Baru

28 Oktober 2014   17:33 Diperbarui: 17 Juni 2015   19:26 90
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Kita masih menunggu jaksa agung baru. Konon hanya dalam waktu beberapa hari ini, Bapak Presiden Joko Widodo akan memilih jaksa agung baru. Kita berharap Bapak Presiden Joko Widodo memilih jaksa agung yang tepat.

Siapa pun jaksa agungnya, dari eksternal atau internal, ya Bapak jaksa agung baru itu nanti tentu datang ke lembaga kejaksaan dengan sejumput asa. Di pikiran Bapak jaksa agung yang baru tentu bergelayut pikiran dan seribu tekad di hati untuk melakukan reformasi atau mungkin juga memiliki niat melakukan revolusi mental sebagaimana yang diinginkan Bapak Presiden.

Pasti Bapak Jaksa Agung (yang baru) tahu, telah ada program reformasi birokrasi di lembaga kejaksaan beberapa tahun belakangan. Namun program reformasi semacam itu ternyata hanya hebat di atas kertas, indah di bibir dan kurang elok dalam perwujudannya. Citra, reputasi dan kepercayaan publik terutama para pemangku kepentingan terhadap lembaga kejaksaan masih jauh dari harapan. Lembaga kejaksaan yang seharusnya besar dan jauh lebih besar dari KPK, malah menjadi kecil di mata KPK dan di mata rakyat.

Citra dan reputasi buruk lembaga kejaksaan selama ini bukan salah siapa-siapa, bukan salah presiden, bukan salah DPR, atau mungkin salah jaksa agungnya, tetapi salah para jaksa itu sendiri. Malas bekerja, menunggu perintah atasan atau menunggu bola, tidak kreatif, tidak inovatif, tidak punya semangat belajar, tidak disiplin, mudah tergoda untuk menerima suap atau bahkan cenderung memeras para pihak berperkara, merupakan aneka mental dan budaya buruk yang melekat di dalam diri para jaksa.

Mental dan budaya buruk semacam itu telah menjadi kanker sehingga sulit untuk disembuhkan. Kedatangan Bapak Jaksa Agung baru di lembaga kejaksaan di tengah akutnya penyakit itu, tentu saja menjadi sulit. Akan tetapi Bapak tahu bahwa ternyata banyak juga sakit kanker di dunia ini, ya kanker stadium empat pun, dapat disembuhkan oleh para dokter atau oleh berbagai ramuan tradisional. Karena itu, Bapak harus bisa menjadi seperti para dokter tersebut. Carikan obat dan ramuan yang manjur agar kanker hebat di lembaga kejaksaan itu bisa disembuhkan.

Revolusi mental harus nyata di lembaga kejaksaan. Strategi, konsep dan program revolusi mental di lembaga kejaksaan harus dipunyai Bapak Jaksa Agung baru. Bagaimana melakukannya? Ya, mulai saja dari diri Bapak sendiri, berikan teladan, sebagaimana Bapak Presiden Joko Widodo.

Mulailah dengan penampulan sahaja alias sederhana, tidak perlu pakai safari, pakai baju licin dan mahal, tidak perlu juga pakai seragam coklat yang tampak angker, bikin masyarakat takut, rajinlah blusukan alias turba (turun ke bawah) dan ajak semua jaksa dan para pegawainya untuk transparan di dalam segala hal.

Ubahlah mental para jaksa malas untuk menjadi rajin, mendorong untuk selalu disiplin dan tertib, bekerja lebih kreatif dan lebih inovatif. Silakan Bapak (jaksa agung baru) cuci otak, nurani, pikiran, perasaan, jiwa para jaksa untuk menjadi lebih jernih, bersih, antisuap, antimeras, anti-ngobjek perkara dan seterusnya. Memang, tidak gampang untuk merevolusi mental para jaksa semacam itu. Semua tergantung Bapak kok, tergantung komitmen dan konsistensi Bapak untuk mewujudkan program revolusi mental Bapak sendiri di lembaga kejaksaan.

Last but not least, kesejahteraan untuk para jaksa dan pegawainya menjadi harga mati. Jaksa Agung periode 2010-2014, Basrief Arief, telah memperjuangkan kesejahteraan di lembaga tersebut hingga tunjangannya naik empat kali lipat, tetapi tentu saja itu belum cukup dan masih jauh dari kesejahteraan para penyidik, jaksa dan pegawai KPK dan para hakim. Kesejahteraan memang bukan segalanya, tetapi setidaknya kesejahteraan yang baik dapat menghindari atau mengurangi niat para insan adhyaksa dari perbuatan tercela yang bernama korupsi.

Jika Bapak dapat memperjuangkan semua hal di atas, niscya lembaga kejaksaan dapat menjadi lebih baik, menjadi lembaga penegak hukum yang disegani. Niscaya pula citra dan reputasiya menjadi lebih harum, hingga meraih kepercayaan publik. Lembaga kejaksaan pun dapat menjadi lembaga penegakan hukum terkemuka di negeri ini.***

John Paul Marchello

Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun