Mohon tunggu...
Kang Warsa
Kang Warsa Mohon Tunggu... Administrasi - Sering menulis budaya, filsafat, dan kasundaan

Sering menulis budaya, filsafat, dan kasundaan

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Tradisi dan Transendensi

9 Juli 2013   19:50 Diperbarui: 24 Juni 2015   10:47 330
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Tradisi bangsa Semit (Yahudi dan Arab) sering dibahasakan kembali oleh para tokoh agama pasca meninggalnya para Nabi menjadi tradisi sakral. Membahasakan sebuah tradisi menjadi hal transenden tidak terlepas dan dihubungkan dengan pelaku sejarah tersebut yaitu para Nabi Alloh. Ketika segala sesuatu bersentuhan dengan prosesi prophetik, maka tidak sulit bagi para tokoh agama pasca kenabian dalam memformulasikan hal-hal tradisi menjadi sebuah nilai transenden. Fakta sejarah, selama empat puluh tahun Bangsa Israel mengembara, prototype diaspora, di sebuah padang bernama Thih, Musa bersama para pengikutnya harus menahan dilanda kelaparan karena kurangnya sumber daya alam di gurun tandus tersebut. Kemudian pasca Kenabian Musa, tradisi ini diformulasikan oleh para Rabbi dalam bentuk puasa. Tujuannya, menghormati apa yang telah dialami oleh para leluhur mereka.

Tidak hanya itu, eksodus besar-besaran Bangsa Yahudi dari Mesir melewati Laut Merah pun telah menjadi tradisi sakral, Kaum Yahudi biasa berpuasa dihari terbebasnya Musa bersama para pengikutnya dari kejaran Firaun. Para Rabbi dan tokoh agama Bangsa Yahudi mampu memformulasikan tradisi propane menjadi transendensi saklar. Dan ini wajib diikuti oleh seluruh Bangsa Yahudi menjadi sebuah ritual suci. Realita ini merupakan satu axioma, dalam diri manusia tidak akan pernah menolak hadirnya nilai-nilai Keilahian.

Tradisi ini menyebar di wilayah bulan sabit, Mesopotamia, dan daerah-daerah gurun. Tradisi Israilliyat disebarkan bukan tanpa sengaja, sebab proses pelembagaan sebuah keyakinan akan membawa dampak baik bagi kelangsungandominasi bangsa tersebut. Titik aman sebuah peradaban akan terwujud ketika tradisi yang telah ditransendenskan diikuti oleh mayoritas. Tradisi puasa ini pun diikuti oleh bangsa-bangsa lain, Assiria, Hitit, dan Aramia. Bahkan tradisi ini telah lama mengakar di peradaban setiap bangsa. Ini fakta menarik, bahwa nilai transendens kailahian tidak dan bukan hal yang harus didominasi oleh satu suku bangsa. Kenabian dan kerasulan pun bukan hanya milik satu suku Bangsa ketika fakta sejarah menyebutkan di pelosok-pelosok dan peradaban manusia telah mengakui adanya kekuasaan tertinggi di luar jangkauan indera mereka.

Tradisi Israilliyat ini, seperti puasa di hari Asyura, kemudian diikuti oleh Nabi Muhammad ketika fase sejarah telah memasuki fase Madaniyyah. Tradisi tiga suku bangsa Yahudi di Mandinah, berpuasa di hari asyura ini diikuti oleh Nabi Muhammad dengan satu penegasan, “ Aku lebih berhak atas mereka!”. Kaum orientalis seperti Zwemmer menyebut pengadopsian ini sebagai bentuk perampokan tradisi degan mengatasnamakan Aku lebih berhak. Meskipun, antara Arab dan Israel sebenarnya merupakan satu rumpun suku bangsa (semit). Ada fase sejarah yang tertinggal, tentang kompromi tradisi.

Tidak lama, setelah beberapa tuduhan dari para Pemuka Agama Yahudi terhadap asosiasi-ritual yang dilakukan oleh Nabi Muhammad dan para Sahabat di Madinah, Alloh memerintahkan kewajiban berpuasa, sebuah kewajiban yang telah dilakukan oleh orang-orang terdahulu. Ini sebuah penegas bukan pembatas, bukan In boarder for Interest, kewajiban berpuasa ini merupakan satu taken for granted, telah ada sejak dahulu, bukan milik satu ras dan suku bangsa. Dalam Surat Al-‘Ashri dijelaskan hakikat puasa sebenarnya adalah bersabar, menahan dari segala hal yang akan melalaikan kita dalam mengingat Alloh. Puasa bukan sekedar menahan lapar dan haus, Rubba Shaaimin Laysa lahu min shiyaamihii illal Juu’u Wal ‘Athsyu, banyak orang berpuasa , namun hanya mendapatkan lapar dan dahaga saja dari puasa tersebut.

Peradaban manusia menurut teori dominasi berlangsung tahun 3.000 SM. Dominasi pikiran ini telah memenjarakan semua manusia menyoroti wilayah-wilayah Mesopotamia, Mesir, dan Semit sebagai peradaban tertua di dunia. Tradisi kenabian pun didominasi oleh pemikiran ini, hingga agama-agama besar pun lahir di daerah itu, kemudian disebarkan melalui sebuah rekonquista, penaklukan dan pembatasan dengan pemberian simbol-simbol terhadap wilayah yang telah dikuasai. Rekonquista digambarkan sebagai sebuah penaklukan terhadap wilayah-wilayah yang belum diterangi oleh cahaya Ilahi. Kognisi distorsi sejarah ini telah meluluh lantahkan keyakinan terhadap kearifan lokal. Jauh sebelum peradaban Mesopotamia, Mesir, dan Semit, peradaban agararis terbesar telah mewujud di tanah ini. Kontemplasi para leluhur negeri ini telah jauh menyentuh ranah teologis, mengakui dan berserah terhadap Dzat Yang tidak terbatas.Akan menjadi satu alasan, manusia-manusia yang hidup di wilayah agraris, memiliki sumber daya alam yang cukup akan lebih leluasa dalam mencari satu kebenaran tunggal dibandingkan dengan manusia-manusia yang hidup di gurun pasir tanpa sumber daya alam yang cukup. Tidak heran, rekonquista pun ditujukan kepada wilayah-wilayah agraris, pemilik sumber daya alam, perampokan terhadap sumberdaya alam atas nama Agama, bahkan mengatasnamakan Tuhan, ketika bangsa-bangsa di wilayah tersebut telah lebih dahulu mengakui adanya Causa Prima, dalam tradisi Sunda (Sanghyang Keresa).

Puasa, kontemplasi, penyatuan antara mengosongkan perut dengan transendensi telah jauh dilakukan oleh para leluhur (Bahasa Sunda: Karuhun). Kontemplasi ini telah menghasilkan sebuah peradaban besar, sebuah kearifan lokal, mengakui Alloh tanpa harus disebarkan melalui proses rekonquista, sebab bagi para leluhur, Alloh telah mengutus orang-orang baik untuk meluruskan keyakinan setiap bangsa, di setiap wilayah sudah pasti ditempati oleh para pembawa kebenaran. Fakta sejarah ini sering diabaikan oleh kita, dalam sejarah kerajaan-kerajaan Sunda, sulit kita menemui adanya ekspansi dan ekspedisi penaklukan terhadap bangsa-bangsa lain. Bahkan, para leluhur kita telah mengajarkan hal penting, jangan mensejajarkan kata Kafir terhadap orang yang tidak mempunyai keyakinan yang sama dengan kita.

The Battle For God (Perang Atas Nama Tuhan), menurut Karen Armstrong, pada dasarnya dilakukan oleh semua Agama melalui kendaraan politik dan kekuasaan. Tujuan dasarnya memanifestasikan dominasi agar memiliki banyak pengikut. Ketika wilayah-wilayah taklukan telah dikuasai disana akan ditancapkan warna-warna simbolisasi. Dominasi ras semit terhadap agama semakin terlihat. Kita akan tercengang, bagi negara-negara Arab sebetulnya mudah saja untuk mempersatukan ummat melalui satu kekuasaan. Namun kenapa hal ini tidak dilakukan? Di sana ada satu kepentingan lebih besar dari sekadar menyatukan ummat dalam satu kekuasaan. Tidak sulit bagi negara-negara Arab untuk menghancurkan Israel jika mereka mau, namun di sana ada kepentingan lebih besar dari sekedar membebaskan Palestina dari kebiadaban Israel. Jika konsep khilafah dilakukan, maka dominasi kekuasaan dinasti Arabia akan runtuh, mereka takut hal ini terjadi, sebab konsep khilafah ini sendiri lahir dari pemikiran kaum pergerakan (Syiria, Syeikh Taqiyyudin An-Nabhani). Ini merupakan turunan, varian baru dari Rekonquista.

Kita akan lebih kecewa, saat bangsa Palestina diluluh lantahkan oleh Israel, bahkan saat ummat Islam di negara ini berduyun-duyun menunaikan ibadah Haji dan Umroh, sebagai devisa bagi Kerajaan Arab Saudi tentu saja. Devisa ini mengalir ke dalam kas-kas kerajaan, sangat tidak mustahil digunakan oleh para Pangeran Kerajaan Arab Saudi berpoya-poya ke Hollywood. Tugas utama para Rasul untuk meluruskan agama dan keyakina telah dirusak oleh orang-orang yang menunggangi agama untuk mencapai kepentingan mereka.

Fakta-fakta kehidupan ini telah melupakan kita, bahwa bangsa ini merupakan bangsa besar, sebuah bangsa yang paling pertama mengakui terhadap Dzat Yang Maha Tunggal. Sebagai ekses lanjutannya, kita lebih senang mengadopsi faham dari orang lain daripada menggali kembali kearifan lokal yang telah diwariskan oleh para leluhur kita melalui sebuah puasa (kontemplasi) penyatuan antara tradisi dan hal transendens. [ ]

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun