No Raffi, No Party. Begitulah polemik Raffi Ahmad yang sedang hangat saat ini. Belum sehari disuntik vaksin Covid-19 bersama Presiden Jokowi, sang artis tertangkap mata mengikuti pesta tanpa menerapkan protokol kesehatan.
Sang Sultan Andara memang telah mengakui kesalahan. Ia meminta maaf karena melakukan perbuatan yang kontradiktif dengan harapan serta perannya sebagai "duta vaksin".
Namun, kontroversi dan kontradiksi yang ada tetap perlu menjadi evaluasi dan renungan penting bagi kita.
Masyarakat Peduli
Kontroversi Raffi Ahmad dalam pesta tanpa protokol kesehatan tidak semuanya bersifat negatif. Kenyataan bahwa peristiwa ini menjadi viral dan diperbincangkan secara luas menandakan ada hal positif. Yakni, perhatian yang tinggi dari masyarakat Indonesia terhadap bentuk-bentuk pelanggaran protokol kesehatan.
Artinya, masyarakat Indonesia sebenarnya paham apa yang seharusnya dilakukan selama pandemi. Menilai tindakan apa yang benar dan perbuatan mana yang salah telah menjadi bagian dari kepedulian masyarakat saat ini. Jika tidak peduli, tindakan atau pelanggaran yang dilakukan oleh Raffi Ahmad mungkin tidak akan viral.
Apakah harus viral? Ya, itu adalah salah satu cara untuk mengimbangi pengaruh influencer. Sebab jika tidak ditegur secara massal, seseorang mungkin tidak akan sadar dengan kesalahannya.
Banyaknya orang yang ikut menegur Raffi bisa dimaknai bahwa telah ada sebentuk kesadaran yang tumbuh di tengah masyarakat untuk menegakkan protokol kesehatan. Di sisi inilah kita patut mensyukurinya. Walau mungkin bentuk kesadaran itu masih kerap timbul tenggelam, tapi cukup berarti.
Cara Instan
Penunjukkan Raffi Ahmad sebagai salah satu orang pertama yang disuntik vaksin bersama Presiden bisa dipahami sebagai salah satu cara instan yang ditempuh untuk mendorong penerimaan masyarakat terhadap vaksinasi Covid-19.
Di tengah tantangan sosialisasi dan komunikasi yang belum juga optimal sejak awal pandemi melanda, pemerintah memang membutuhkan banyak duta untuk membangun sistem kepercayaan masyarakat. Para duta bisa menjadi kepanjangan lidah pemerintah untuk menyampaikan pesan sekaligus menggerakan perubahan sikap perilaku masyarakat.
Dalam konteks pemilihan Raffi Ahmad sebagai influencer perwakilan milenial, bisa diterima pertimbangan bahwa ia memiliki jutaan pengikut dan penggemar. Andaikan sekali saja Raffi berkata "takut disuntik", maka jutaan orang itu mungkin akan berpikir untuk menolak vaksin.
Raffi juga lebih dari sekadar pesohor. Ia tidak butuh media dan berita. Sebaliknya justru media yang membutuhkannya sebagai produsen berita. Hal sekecil apapun tentang Raffi pasti akan diberitakan.