Masih inget kan kasus Ratna Sarumpaet yang menyebarkan berita bohong (hoax) bahwa dirinya mengaku  dianiaya sekelompok orang tak dikenal pada 21 September 2018, di Bandung, Jawa Barat? Masih inget lah ya wong sempat viral kok. Namun, setelah dilakukan penelusuran lebih dalam tenyata pernyataan Ratna Sarumpaet dinilai bohong justu rekayasa yang dibuat olehnya.
Mungkin saat itu Ratna menggunakan strategi playing victim untuk menyerang partai lawannya. Memang strategi palying victim dapat menarik simpati masyarakat, karena memainkan emosional rakyat dan bertujuan untuk menyerang pemerintah. Sayangnya, justru berita bohong yang Ratna sampaikan menjadi boomerang buat dirinya sendiri. Akhir dari sandiwara Ratna membuat ingatan dalam bagi masyarakat tentang 'hoax Ratna Sarumpaet yang oplas tapi malah ngakunya dianiaya'.
Sandiwara ala palying victim ternyata masih ada kelanjutannya, bung. Cuma sekarang beda aktor aja. Kali ini bukan Ratna lagi tapi Cawapres dari pihak oposisi. Hebatnya lagi, ini menarik simpatisan rakyat sampai memunculkan tagar #sandiwarauno.
Ini terjadi saat Cawapres Sandiaga Uno sedang melakukan kampanye diPasar Kota Pinang, Sumatera Utara. Saat itu terjadi insiden penolakan Sandiaga uno saat blusukan ke Pasar Kota Pinang dengan adanya poster yang bertuliskan  'Pak Sandiaga Uno Sejak Kecil Kami Sudah Bersahabat Jangan Pisahkan Kami Gara-gara Pilpres, Pulanglah!!'.
Ada sesuatu yang aneh dari insiden tersebut. Ketika poster tersebut terpasang, ada yang pria berkaos putih ingin mencopot poster tersebut, tapi seorang pria berkemeja hitam dan bertopi hitam diduga bernama Yuga, Koordinator Media Tim Sandiaga, melarang anggota Timses Sandiaga ketika ingin mencopot poster penolakan. Seolah ini sebagai bukti bahwa ada pihak yang merasa dirinya tertindas atau terpojokkan dalam kampanye Pilpres 2019.
Kalau diperhatikan dengan seksama hal tersebut terlihat seperti settingan, karena  gestur Drijon Sihotang terlihat kaku. Bukankah jika ia memang kontra terhadap Cawapres tersebut dia bersikap santai dan menunjukkan ke-kontra-annya langsung?
Insiden tersebut menuai tudingan bahwa Sandi sedang melakukan sandiwara dan playing victim. Ini merupakan cara jaman Orde Baru yang menggunakan cara sebagai korban yang dipojokkan. Cara-cara seolah-olah merasa sebagai korban tidak digunakan dalam kampanye jelang pemilihan presiden 2019 karena seakan kehabisan ide untuk menjatuhkan pihak lawan.
Bukankah cara ini sama seperti cara yang digunakan oleh Ratna Sarumpaet. Yang berbeda hanyalah aktor dan penyampaiannya saja. Jika Ratna Sarumpaet menggunakan kabar bohong bahwa dirinya dianiaya, maka Sandiaga menggunakan poster yang menolak kedatangannya saat kampanye blusukan di Pasar Kota Pinang.
Ratna Sarumpaet sudah gagal dalam playing victim, seharusnya pihak lawan tidak menggunakan cara tersebut untuk menarik simpati dari masyarakat. Dampak dari playing victim memang lebih menarik untuk mendapatkan simpati masyarakat, tapi seolah mereka tidak menemukan celah untuk menjatuhkan pihak lawan.
Beberapa isu yang mereka lontarkan saja dapat ditepis dengan baik oleh pemerintah. Isu rupiah melemah saja pemerintah langsung berupaya keras untuk membuat rupiah kembali menguat meskipun perlahan. Kasus pelanggaran HAM masa lalu juga sudah dapat diselesaikan meskipun baru 3 kasus. Maka dari itu pihak lawan menggunakan strategi playing victim untuk mendapatkan hati masyarakat ketimbang menggunakan isu yang terkesan lebih berat.