Saya tidak terlalu mengikuti kelanjutan kasus Antasari Azhar. Tapi saya masih ingat proses persidangannya lebih dari tujuh tahun lalu. Saya ingat ada kekecewaan atas sistem hukum kita dalam mengungkap kebenaran dan menjatuhkan hukuman. Tujuh tahun, tentu sudah banyak hal terjadi dalam kehidupan kita dalam kurun waktu itu. Tujuh tahun Antasari mendekam di Lapas Tangerang, Banten, juga rasanya banyak yang sudah di terjadi di sana. Sedikit yang saya tahu dari konferensi pers bebas bersyarat Antasari Azhar pagi ini tepat di Hari Pahlawan, 10 November 2016, entah ada kaitannya atau tidak, waktu pembebasan bersyarat ini.
Saya tak bisa menahan diri menulis pendapat pribadi tentang bebas bersyarat Antasari Azhar. Entah apa yang membawa saya ingin segera menulis ini setelah berbagi opini pribadi di status Facebook. Yang pasti berita pagi ini membuat saya menulis lagi di Kompasiana setelah absen lebih dari tiga bulan.
Barangkali karena saya merasakan energi keikhlasan yang diucapkan Antasari Azhar saat jumpa pers. Sungguh tak mudah belajar ilmu ikhlas. Saya bisa katakan itu karena saya masih belajar ikhlas, dan pernah merasakan nikmat dan berkahnya ikhlas saat kehilangan anak semata wayang sekitar 100 hari lalu. Jadi, kata ikhlas yang dikeluarkan Antasari Azhar begitu keluar dari lapas, dan bagaimana dia memproses keikhlasan lewat perenungan dan membaca buku, sungguh menyentuh hati saya. Kenapa? Karena itulah juga yang saya lakukan untuk menjadi orang yang ikhlas dengan apa pun yang sudah Tuhan gariskan dalam perjalanan hidup kita.
Perenungan dan membaca buku menjadi jalan menuju keikhlasan yang sungguh menenteramkan. Saya tidak bisa bilang mana lebih berat, perjalanan keikhlasan Antasari Azhar dalam penjara dan tidak bisa menikmati utuh momen bahagia bersama keluarga atas pernikahan kedua anaknya hingga lahirnya tiga cucu dalam kurun waktu tujuh tahun lebih, atau saya yang harus berpisah selamanya dengan anak 3,5 tahun, anak semata wayang yang dinanti kehadirannya lebih dari empat tahun.
Yang pasti dipenjara 7,5 tahun karena taat hukum, meski belum tentu bersalah, tidak bisa dikatakan perjalanan yang mudah. Akhirnya, empati menentukan bagaimana orang lain memandang perjalanan Antasari Azhar ini. Hanya empati, karena fakta atau kebenaran terlalu samar, relatif, setiap orang punya pembenaran masing-masing. Persepsi bisa dibentuk dengan berbagai latar belakang dan kepentingan. Pada akhirnya kembali kepada empati bagaimana kita memandang dan berkomentar atas suatu persoalan.
Saya tak mau terjebak dalam kasus Antasari Azhar. Hanya saya saya melihat akan terjadi pergesekan antara keikhlasan “terseret lagi” Antasari karena kasusnya memang tingkat berat, ada pihak lain yang barangkali “menuntutnya” menuntaskan perkara. Meski barangkali di mata Antasari dan keluarganya, mereka yang paham hukum, sudah berusaha sekuat tenaga dan masih saja kalah. Seorang Antasari, penegak hukum yang tahu hukum, tahu bagaimana membela dirinya, mengungkap fakta, masih bisa terpenjara. Rasanya wajar kalau keluarga merasa pasrah dengan sistem penegakan hukum kita. Lalu bagaimana dengan pihak yang merasa tak puas? Entahlah, barangkali empati yang bisa menjawabnya atau barangkali harus mereview pelajaran keikhlasan.
Saya kok merasa sedih ketika Antasari dan keluarga yang sudah ikhlas dari proses perenungan di penjara dan membaca buku (entah buku apa saja yang dibacanya), kemudian akan bisa terseret lagi dalam perkara karena pihak lain yang masih ingin mengungkap fakta dan menjebloskan atau menghukum orang yang benar-benar bersalah. Meski Antasari Azhar sudah menyatakan biarkan Tuhan yang menghukumnya, dan dia sudah ikhlas dan meninggalkan semua urusan dendam di dalam lapas.
Simak saja kata-kata Antasari Azhar ini:
“Remisi sudah dilakukan sejak 2010, 4 tahun 6 bulan. Jadi 12 tahun, dua per tiga dari 18 tahun hak napi mendapatkan bebas bersyarat… Saya mau masuk penjara karena ada putusan pengadilan tapi bukan karena perbuatan seperti didakwakan…sebagai penegak hukum harus taat hukum. Ada adagium hukum bahwa putusan hakim kalaupun salah harus dianggap benar.”
Istri Antasari Azhar, Ida Laksmiwati, saat diwawancara KompasTV juga berkata menyerahkan kepada masyarakat yang menilai. Ida juga mengutip Antasari Azhar bahwa menyerahkan Allah yang menghukum mereka yang bersalah karena sudah berusaha menegakkan hukum dan selalu kalah.
Bahkan Ida ketika diminta pendapatnya mengenai hukum di Indonesia menyiratkan kekecewaan bahwa hukum kita belum bisa ditegakkan seadil-adilnya padahal usaha peninjauan kembali perkara sudah dilakukan.