"Tana adat Masyarakat itu harus hidup di tangan masyarakat,tanah tidak punya bibit"(Tokoh masyarakat hubula)
Pembangunan provinsi Papua Pegunungan sebagai entitas administratif baru pasca pemekaran membawa harapan sekaligus tantangan tersendiri. Salah satu tantangan utama adalah kebutuhan mendesak untuk membangun kantor-kantor instansi pemerintahan, terutama di wilayah Jayawijaya sebagai pusat aktivitas provinsi.
Namun, tanah-tanah yang direncanakan untuk pembangunan ini merupakan bagian dari wilayah ulayat masyarakat adat, khususnya suku Hubula yang memiliki struktur sosial dan nilai kosmologis tinggi terhadap tanah. Ketika proses pembangunan tidak dilandasi pendekatan sosial dan budaya yang inklusif, resistensi dapat muncul. Dalam konteks ini, *Peraturan Daerah Khusus (Perdasus)* tentang tanah ulayat hadir sebagai peluang penting untuk menjembatani kepentingan negara dan masyarakat adat.
 Perdasus Tanah Adat---Legitimasi Formal atau Jalan Kolaboratif?
Pada 19 Juni 2025, DPR Papua Pegunungan melalui Badan Pembentukan Peraturan Daerah (Bapemperda) mengonfirmasi bahwa sebanyak 29 rancangan regulasi telah diterima, termasuk Perdasus mengenai hak ulaTana adat Masyarakat itu harus hidup di tangan masyarakat,tanah tidak punya bibit"_(Tokoh masyarakat hubula)yat. Ketua Bapemperda, Hengki Bayage, menegaskan bahwa regulasi tersebut merupakan pondasi hukum utama untuk melindungi hak masyarakat adat dalam pembangunan.
Namun, legitimasi formal tidak cukup jika tidak disertai kepercayaan sosial. Contoh kasus pemalangan tanah KIPP dan Kantor BPN Jayawijaya oleh pemilik hak ulayat Yakobus Kosay menunjukkan bahwa meskipun pelepasan tanah dilakukan secara adat, belum ada kejelasan hukum dari BPN. Hal ini menimbulkan resistensi dan memunculkan ketidakpuasan masyarakat.
Perdasus seharusnya menjadi alat kolaboratif yang disampaikan melalui jalur komunikasi sosial: pemerintahan kampung, musyawarah honai, serta keterlibatan aktif LMA dan MRP sebagai lembaga perwakilan kultural. Dengan pendekatan ini, regulasi tidak sekadar menjadi hukum tertulis, melainkan dirasakan dan dimiliki oleh masyarakat adat.
---
 :instansi Pemerintahan dalam Bayang-Bayang Konflik Narasi
Pembangunan kantor pemerintahan di Jayawijaya menghadapi tantangan kompleks akibat konflik narasi antar suku. Kepemimpinan politik yang didominasi oleh klan tertentu sering menimbulkan persepsi ketimpangan dan membuat suku Hubula merasa terhimpit secara sosial dan budaya.
Narasi semacam ini diperkuat oleh minimnya komunikasi langsung dari pemerintah kepada masyarakat kampung. Padahal, honai sebagai ruang kosmologis masyarakat Hubula memiliki fungsi penting sebagai arena negosiasi dan musyawarah. Ketika pembangunan dilakukan tanpa melibatkan honai, masyarakat merasa tidak diakui secara budaya meskipun secara hukum tanah telah dilepas.
 Rekomendasi
Harmonisasi antara pembangunan kantor pemerintahan dan pengakuan atas tanah ulayat bukan sekadar persoalan teknis, tetapi menyangkut identitas dan kepercayaan masyarakat. Perdasus yang telah dirancang harus menjadi _media sosial kultural_ yang diimplementasikan melalui pendekatan kampung, honai, dan lembaga adat.
Pemerintah dapat:
- Menjadikan Perdasus sebagai alat kolaboratif, bukan hanya hukum formal.
- Melibatkan LMA, MRP, dan kepala kampung dalam komunikasi kebijakan.
- Mempercepat sertifikasi tanah yang telah dilepas secara adat.
- Membangun instansi pemerintahan dengan desain vertikal yang efisien dan menghormati nilai lokal.