Selama hampir dua bulan, aktivitas kelembagaan di Provinsi Papua Pegunungan mengalami stagnasi serius. Kas daerah kosong, kegiatan DPRP tidak berjalan, dan pelayanan publik terganggu. Artikel ini menganalisis penyebab utama dari situasi tersebut, mencakup keterlambatan dana transfer pusat, ketidakefisienan pengelolaan anggaran, rendahnya Pendapatan Asli Daerah (PAD), serta disfungsi tata kelola fiskal. Kajian ini menyoroti perlunya reformasi struktural dan penguatan kapasitas kelembagaan untuk mencegah krisis tata kelola yang berulang.
[analisis akademik -Hun flocky]
1. Pendahuluan
Papua Pegunungan sebagai provinsi baru hasil pemekaran menghadapi tantangan berat dalam masa transisinya. Kekosongan kas daerah dan terhentinya kegiatan DPRP selama lebih dari delapan minggu menciptakan kekosongan fungsi publik yang berbahaya, terutama di wilayah dengan tantangan geografis dan sosial yang kompleks.
---
2. Keterlambatan Dana Transfer: Ketergantungan Fiskal yang Rentan
Pemerintah Provinsi menyatakan bahwa kekosongan kas disebabkan keterlambatan Dana Otonomi Khusus (Otsus) dari pusat. Namun, kegiatan DPRP tidak menggunakan Dana Otsus, sehingga alasan ini tidak sepenuhnya relevan. Ketergantungan fiskal yang tinggi terhadap transfer pusat tanpa sistem cadangan kas menunjukkan lemahnya perencanaan keuangan jangka pendek.
---
3. Ketidakefisienan Anggaran dan Lemahnya Pengawasan
Berdasarkan laporan Ketua DPRP, Yos Elopere, hingga pertengahan Juni 2025, DPRP belum menerima Laporan Keterangan Pertanggungjawaban (LKPJ) dari Pemprov, sehingga tidak dapat menjalankan fungsi pengawasan secara maksimal. Hal ini diperparah oleh:
- Perencanaan anggaran yang tidak matang
- Prioritas belanja yang tidak tepat sasaran
- LPJ OPD yang tidak lengkap
- Lemahnya peran Inspektorat dalam pengawasan internal