Mohon tunggu...
Wan WardatulBaidloi
Wan WardatulBaidloi Mohon Tunggu... mahasiswa

untuk upload artikel terkini

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

H. Agus Salim: Pejuang Santun di Tengah Ketegangan Perumusan Dasas Negara

24 September 2025   14:27 Diperbarui: 24 September 2025   14:26 5
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Perjalanan menuju kebebasan bangsa Indonesia sarat akan polemik serta ketegangan ideologi yang mewarnai proses perancangan fondasi negara. Di tengah ramainya perbedaan sudut pandang antara kubu nasionalis sekuler serta kubu Islam, hadir sosok Haji Agus Salim, seorang diplomat andal berkarakter santun yang mampu menjadi penengah esensial. Sebagai salah satu anggota Panitia Sembilan, perannya bukan hanya terbatas pada perancangan Piagam Jakarta, namun juga dalam memastikan persatuan bangsa tetap terjaga, walaupun terdapat perbedaan mendasar.
Terlahir dengan nama Mashudul Haq pada tahun 1884, Agus Salim sejak belia telah memperlihatkan kepintaran yang luar biasa. Dengan penguasaan terhadap sekurang-kurangnya sembilan bahasa asing, ia memaksimalkan kemampuannya untuk mendalami ide dari berbagai peradaban, baik itu Barat ataupun Timur. Pengalaman ini memberinya pandangan yang menyeluruh serta modal berharga dalam menghadapi perdebatan sengit. Keberaniannya dalam menyampaikan kritik, yang didukung oleh kemahiran berargumentasi, sudah terlihat sejak ia menjabat sebagai pemimpin Sarekat Islam. Meskipun demikian, di balik keberaniannya, ia tetap mengedepankan kesopanan, candaan, dan kearifan yang membuatnya digelari "The Grand Old Man" oleh para diplomat.
Pada tahun 1945, H. Agus Salim diangkat menjadi anggota Panitia Sembilan, sebuah tim kecil yang diberi tugas merancang konsep dasar negara yang inklusif. Panitia ini beranggotakan tokoh-tokoh dengan latar belakang yang beragam, dan perbedaan pandangan terkait peranan agama dalam negara menjadi masalah yang paling sensitif. Kelompok Islam, yang diwakili oleh Agus Salim serta tokoh lainnya, menghendaki dasar negara yang menampung syariat Islam. Namun, kelompok nasionalis sekuler, termasuk Soekarno dan Hatta, mengkhawatirkan hal tersebut dapat memicu perpecahan di antara masyarakat yang heterogen.
Di sinilah peran Agus Salim selaku mediator ulung menonjol. Alih-alih mempertahankan pendapatnya secara konfrontatif, ia malah menggunakan pendekatan dialog yang sopan serta penuh empati. Ia menyadari bahwa kompromi penting demi tujuan yang lebih utama, yaitu kemerdekaan bangsa. Melalui diskusi yang panjang serta penuh ketegangan, pada akhirnya tercapailah rumusan Piagam Jakarta. Rumusan tersebut mencantumkan "Tujuh Kata" yang menjadi kelonggaran terbesar bagi kelompok Islam, tetapi masih bisa diterima oleh kelompok nasionalis.
Akan tetapi, mufakat itu tidak berjalan lama. Menjelang sidang PPKI, muncul keberatan dari perwakilan Kristen di kawasan Timur Indonesia yang merasa tidak setuju dengan "Tujuh Kata" tersebut. Kekhawatiran akan terpecahnya bangsa di awal kemerdekaan menjadi ancaman nyata. Dalam keadaan genting ini, kembali hadir kearifan Agus Salim. Bersama tokoh Islam yang lain, ia dengan ikhlas menerima saran penghapusan "Tujuh Kata" demi menjaga persatuan bangsa. Keputusan ini, yang dikenal dengan kompromi Piagam Jakarta, menandakan bahwa bagi Agus Salim, kepentingan bangsa menjadi prioritas utama, bahkan melebihi idealisme pribadinya.
Perjuangan Agus Salim tak berhenti usai proklamasi. Setelah kemerdekaan, ia aktif sebagai seorang diplomat mahir yang berupaya memperoleh pengakuan internasional atas kedaulatan Indonesia. Keandalannya dalam berdiplomasi dengan negara-negara Arab, yang berlandaskan oleh jaringan Islam yang kokoh, memegang peranan penting dalam meraih pengakuan dari Mesir pada tahun 1947. Hal ini menjadi salah satu keberhasilan terbesar diplomasi Indonesia pada masa-masa awal kemerdekaan.
Sampai akhir hayatnya, H. Agus Salim diingat sebagai sosok yang menyatukan keilmuan, kepiawaian berpolitik, serta kerendahan hati. Ia membuktikan bahwa perjuangan dapat dilakukan dengan cara yang santun, tanpa harus mengorbankan prinsip ataupun menyebabkan perpecahan. Keteladanannya mengajarkan bahwa toleransi, diskusi, serta semangat persatuan adalah kunci dalam membangun bangsa yang hebat.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun