Angkot, armada andalan bagi masyarakat. Setidaknya bagi emak-emak dan anak sekolah, di zamanku. Murah, bisa berganti-ganti, tarif sama jauh-dekat. Dalam kondisi tertentu, angkot malah bisa jadi mobil pribadi. Kok bisa? Pernah, mobil angkot hanya mengantar saya karena penumpang lain sudah mencapai tujuannya, hehe.
Jalur angkot daerahku menempuh jalan raya Salatiga-Watuagung. Harus berjalan kaki kurang lebih 800m dari rumah. Perlu setidaknya 15 menit. Ada satu angkot yang jadi langganan kami, yang "jemput bola" ke jalan kampung. Dengan begitu kami dimudahkan berangkat sekolah. Si sopir juga untung karena punya langganan. Ngomong-ngomong tentang angkot, berikut pengalaman seru versiku.
Diselipkan di Persneling. Anda bingung? Kok bisa badanku diselipkan di sana. Ya, badanku tergolong minimalis. Kecil, kucel, kurus, tidak makan tempat. Kalau beli baju, sekali bisa untuk bertahun-tahun.
Oleh sopir angkot langganan, aku disediakan tempat istimewa. Bangku belakang penuh, samping kemudi terisi dua. Dibukanya pintu kanan, disuruhnya aku masuk duluan. Mepet di persneling, dihimpit, berbagi bangku dengan sopir. Kadang malah mengangkangi persneling.
Sepintas rasanya kejam. Tapi syukurnya aku baik-baik saja hingga kini. Badan mungil memungkinkan "barangku" berdamai dengan tuas persneling, yang tingginya 20cm itu.
Tapi kenapa aku? Mayoritas penghuni angkot adalah murid cewek. Badanku "ideal". Akulah kandidat tunggal "pelindung" persneling. Sopir banyak hutang padaku.
Nggandhul. Jauh sebelum anak sekolah ugal-ugalan tanpa helm, tiada spion dan jelas tidak kenal makhluk bernama SIM. Lama saat ojeg masih armada elit pilihan terakhir penyelamat perjalanan. Jauh sebelum manusia terbiasa mengendarai kendaraan bermotor lalu bosan dan menceburkan diri dalam tren mengayuh pedal. Nggandhul adalah cara paling populer untuk berekspresi waktu itu.
"Nggandhul" dari Bahasa Jawa yang berarti bergelantungan di pintu. Mobilitas masyarakat kampung banyak ditolong angkot, dengan jumlah terbatas sedang pelanggannya banyak. Daripada telat, nggandul pun tak masalah. Kaum emak-emak rela bergelesotan di lantai pintu, menjejali lorong angkot dengan keranjang belanjaannya.
Masa aku, anak sekolah duduk di lantai. Sorry ndak level, bro. Mending nggandul. Gaul!
Bayarnya sama kok berdiri di pintu. Capek kaki. Bahaya. Sengsara.