Mohon tunggu...
Waluyo SE ME
Waluyo SE ME Mohon Tunggu... Lainnya - Penyuluh Pajak Ahli Madya Kanwil DJP Sumsel dan Kep. Bangka Belitung

Sebagai Educator yang memiliki moto Menginspirasi dan Mengedukasi

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan

Puasa, Lebaran dan Pajak

15 Mei 2024   11:24 Diperbarui: 15 Mei 2024   11:28 44
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Birokrasi. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/GARRY LOTULUNG

Puasa, Lebaran, dan Pajak**

Oleh Waluyo,S.E.,M.E.*

 

PUASA dan lebaran tahun ini sudah kita dijalani dan efeknya masih terasa sampai dengan sekarang. Himpunan Peritel dan Penyewa Pusat Perbelanjaan Indonesia (Hippindo) menyebutkan, omzet penjualan retail berpotensi melonjak, diperkirakan, omzet pengusaha retail pada bulan puasa dan masa lebaran akan melonjak 30 - 50 persen daripada bulan biasanya. Bahkan, penjualan pada bulan puasa dan masa Lebaran nanti diprediksi akan menyumbang 20-30 persen dari target penjualan setahun. Namun, kenyataannya pada momentum lebaran kali ini peritel tidak dapat mencapai target omzetnya. Khususnya untuk sektor fashion seperti penjualan baju, sepatu hingga tas. Ketua Umum Himpunan Peritel dan Penyewa Pusat Perbelanjaan Indonesia (Hippindo) Budihardjo Iduansjah pun membeberkan sejumlah hambatan pencapaian target di sektor tersebut. Kata dia, salah satunya karena pemberlakuan Peraturan Menteri Perdagangan (Permendag) No.36/2023 tentang Kebijakan dan Pengaturan Impor sebagaimana telah diubah dengan Permendag No.3/2024. "Terus terang karena kekosongan barang ini kita tidak mencapai target. Khususnya untuk sektor fashion. Karena sepatu dan tas barangnya kosong," kata Budihardjo kepada wartawan, di Kemenko Perekonomian, Kamis (18/4). Budi pun membeberkan nilai target omzet industri fashion seharusnya berada di kisaran Rp 50 triliun dan khusus pada momen libur lebaran ditargetkan dua kali lipatnya yakni Rp 100 triliun. Tapi, karena keterbatasan stok barang yang masuk menjadikan peritel mau tidak mau menjual barang yang mereka punya hingga kesulitan mencapai target lebaran.

Fenomena unik itu mungkin hanya terjadi di Indonesia. Alur perputaran barang dan orang akan begitu cepat pada masa puasa ini dan akan mencapai puncaknya ketika mendekati Lebaran. Akan semakin banyak uang yang beredar dan sebagian besar alurnya akan menggeliat dari kota ke desa. Akibatnya, roda perekonomian perdesaan semakin terdongkrak dan bergairah. Uang akan dihabiskan untuk belanja barang-barang konsumtif seperti membeli pakaian baru, berwisata, atau berlibur.

Kondisi tersebut mengalahkan semua teori ekonomi yang ada. Kesulitan ekonomi, yang diindikasikan dengan tingkat pengangguran dan kemiskinan yang masih tinggi, akan terabaikan dengan adanya fenomena puasa dan Lebaran. Semua masyarakat akan melupakan persoalan dasar pada dirinya, hanya fokus untuk menyiapkan diri menyambut puasa dan Lebaran. Karena itu, jangan heran, semua orang akan menjadi lebih konsumtif dan membelanjakan uangnya, termasuk menggerus tabungannya.


Bulan tersebut menjadi krusial secara ekonomi. Sebab, terjadi “peledakan” geliat ekonomi di Indonesia. Semua rangkaian kegiatan usaha terimbas dampaknya. Mulai produsen, pedagang retail, pedagang eceran, kios-kios, warung-warung, sampai pedagang kaki lima.

Fenomena tersebut juga menjadi perhatian Ditjen Pajak Kementrian Keuangan RI. Ketika ekonomi menggeliat sedemikian besarnya dan perputaran uang semakin besar, di situ ada potensi pajak yang bisa digali.

Ada dua jenis pajak yang diperkirakan meningkat tajam seiring dengan kondisi tersebut. Pertama, setoran Pajak Penghasilan Pasal 25 atau pembayaran angsuran pajak. Itu dimungkinkan karena perhitungan angsuran Pajak Penghasilan Pasal 25 berdasar kondisi tahun lalu. Nah, karena omzet penjualan naik, otomatis terjadi peningkatan jumlah keuntungan. Walaupun nanti diperhitungkan pada akhir tahun, Ditjen Pajak bisa saja menghitung ulang angsuran Pajak Penghasilan Pasal 25 tersebut dengan data terkini.

Kedua adalah jenis pajak pertambahan nilai (PPN). Karena merupakan pajak konsumsi, secara langsung PPN akan meningkat bila terjadi peningkatan omzet. Secara sederhana, 50 persen peningkatan omzet penjualan juga akan mendongkrak penerimaan PPN 50 persen. Apalagi, barang favorit yang dikonsumsi selama periode tersebut pastilah barang kena pajak yang memiliki PPN. Perhitungan sederhana untuk Matahari dan Hypermart yang mempunyai target penjualan 2010 sebesar Rp 17 triliun (Koran Tempo, 28 Juli 2010), PPN-nya akan berkisar Rp 1,7 triliun. Karena sumbangan penjualan selama periode puasa dan Lebaran rata-rata 30 persen dari target, sumbangan penerimaan PPN juga akan signifikan pada periode tersebut.

Dilihat per sektor, selain sektor perdagangan yang akan mengalami lonjakan omzet penjualan, sektor jasa perhotelan dan hiburan akan mengalami hal serupa. Liburan Lebaran yang cukup lama akan dimanfaatkan sebagian masyarakat untuk berlibur. Akibatnya, tingkat hunian hotel meningkat tajam dan berarti ada peningkatan omzet. Sektor perhotelan itu akan menyumbang Pajak Penghasilan Pasal 25 dan pajak pemotongan pemungutan. Sangat lumrah jasa perhotelan juga melibatkan subkontraktor atau rekanan sehingga ada potensi pajak penghasilan atas jasa (pasal 23).

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun