Mohon tunggu...
Wakidi Kirjo Karsinadi
Wakidi Kirjo Karsinadi Mohon Tunggu... Editor - Aktivis Credit Union dan pegiat literasi

Lahir di sebuah dusun kecil di pegunungan Menoreh di sebuah keluarga petani kecil. Dibesarkan melalui keberuntungan yang membuatnya bisa mengenyam pendidikan selayaknya. Kini bergelut di dunia Credit Union dan Komunitas Guru Menulis, keduanya bergerak di level perubahan pola pikir.

Selanjutnya

Tutup

Gaya Hidup Pilihan

Seandainya Aku Bisa Membeli Mobil Itu

17 Maret 2020   08:37 Diperbarui: 2 April 2020   09:33 192
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Kadang kita begitu terdorong untuk membeli sesuatu. Bahkan tanpa tahu alasan, tujuan, dan penyebabnya. Pokoknya ingin belanja saja. Rasanya demikian menyenangkan ketika kita bisa membeli sesuatu atau belanja di supermarket atau pusat perbelanjaan. Rasanya menyenangkan pergi ke toko, ke mall, membeli barang-barang yang menarik, dan kemudian pulang membawa setumpuk barang belanjaan. Baju, celana, tas, ikat pinggang, sepatu ... tak peduli mungkin seminggu yang lalu kita baru saja membeli benda-benda yang sama atau bahkan mungkin kita belum sempat mengenakannya. Pokoknya rasanya asyik ketika bisa berbelanja.

Kadang kita juga merasa, kalau kita bisa membeli sesuatu, pakaian yang sedang tren, mobil impian, kita merasa bahwa hidup kita akan menjadi lebih baik, segala sesuatu menjadi terasa akan lebih mudah dan menyenangkan, atau mungkin kita bisa merasa bangga karena orang lain merasa iri dengan kita. 

Namun, ketika kita benar-benar bisa membeli dan memiliki barang-barang impian yang rasanya sangat menyenangkan tersebut, kita segera menemukan diri kita kehilangan rasa senang atau rasa puas atau rasa bangga kita tidak lama sesudah memilikinya. Lagi pula, sepatu yang sangat tren saat kita membelinya minggu lalu atau bulan lalu segera menjadi usang karena muncul tren yang baru.

Jay Shetty, seorang pembicara, host, dan content creator yang meraup puluhan miliar views, mengingatkan kita bahwa ketika kita berbelanja sebenarnya kita tidak sedang membeli barang yang kita butuhkan melainkan perasaan yang kita dambakan. Ketika kita menginginkan jam, tas, mobil, yang sebenarnya kita cari adalah pengakuan, popularitas, dan harga diri. Kita dibesarkan dalam lingkungan penuh dengan iklan di televisi, di jalan-jalan, di media sosial yang membuat kita percaya bahwa kalau kita memakai baju ini kita akan merasa lebih percaya diri, kalau kita memiliki barang ini kita akan tampak lebih menarik.

Kita harusnya bertanya kepada diri kita sendiri, Mengapa kita menginginkan benda-benda ini? Apakah kita menginginkannya untuk membuat orang lain iri? Apakah kita ingin memiliki barang tersebut agar kita tidak kalah dengan orang lain? Apakah kita menginginkannya karena orang lain memilikinya? Jika jawabannya iya, kita akan selalu berakhir dengan kecewa. 

Namun, kalau jawabannya adalah kita ingin merasa lebih baik mengenai diri kita, kita ingin merasa lebih percaya diri, kita ingin merasa harga diri kita menjadi lebih baik, hal ini agak berbeda. Kita sedang mengatakan pada diri kita bahwa ketika kita berhasil memiliki barang ini kita akan menjadi bahagia. Ketika ini yang terjadi, sebenarnya kita sedang menunda kebahagiaan kita berdasarkan benda-benda material. 

Kita lupa bahwa, kalau kita tidak mencintai apa yang kita kerjakan setiap hari --tidak peduli apa saja yang kita miliki, dan bisa jadi kita memiliki hal-hal yang paling menakjubkan di dunia ini-- tetapi kalau tidak tidak mencintai diri kita, jika kita tidak mencintai pekerjaan kita, sebenarnya kita tidak akan memiliki rasa percaya diri, kita tidak akan memiliki harga diri yang lebih tinggi, kita tidak akan merasa lebih baik mengenai diri kita. 

Tidak ada hal yang bisa menggantikan hal ini, tidak dengan benda-benda material yang kita beli dan miliki. Kita tidak bisa membeli perasaan-perasaan ini. Kita harus membangunnya, kita harus menciptakannya: rasa percaya diri dan harga diri dan kepenuhan diri. Kita harus menemukannya.

Namun, yang umumnya terjadi adalah, kita tidak menyadari semua hal ini. Kita tidak memahami hidup kita dan bagaimana kita menjalani hidup kita. Semakin banyak kita melihat, semakin banyak yang kita inginkan, hal-hal tersebut tidak akan membuat kita bahagia. Kebahagiaan ditentukan oleh perasaan Anda sendiri terhadap diri Anda sendiri apa adanya. 

Tanpa embel-embel barang-barang atau situasi dan kondisi yang Anda ingin dan angankan. Iklan-iklan selalu mengatakan bahwa kita perlu menambahkan hal-hal atau benda-benda atau situasi-situasi tertentu ke dalam hidup kita kalau ingin hidup kita lebih berarti. Kita tidak sadar bahwa kita sebenarnya akan merasa lebih bahagia ketika kita mengurangkan hal-hal tersebut dari hidup kita dan menjalani hidup yang lebih sederhana. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Gaya Hidup Selengkapnya
Lihat Gaya Hidup Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun