Mohon tunggu...
Wahyu Widayat
Wahyu Widayat Mohon Tunggu... Human Resources - Seorang eseis sastra, politik dan budaya. Penulis tinggal di Gunungkidul.

Hobi fotografi dan fasilitator pelatihan pengembangan sumber daya manusia.

Selanjutnya

Tutup

Politik

BW dan Teko Blirik

22 September 2020   21:08 Diperbarui: 22 September 2020   21:09 64
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bambang Wisnu (BW), Calon Bupati Gunungkidul

Siapa tak kenal Teko Blirik? Teko berbahan enamel ini memang legendaris. Teko berwarna hijau ini punya sejarah panjang. Kini, teko pelengkap wedhangan ini dianggap sebagai barang antik. Teko blirik dikenal sebagai perangkat minum teh dan diperkenalkan oleh pedagang Belanda berkelahiran Belgia, yaitu Jan Mooijen pada tahun 1845. Ya, 15 tahun setelah Perang Jawa atau Perang Diponegoro.

Benda cantik dan mungil ini rupanya menarik perhatian para buruh perkebunan untuk menggunakannya pada jam istirahat bekerja. Saking terkenalnya, pada 1908, Stasiun Gambir di Jakarta menggunakan Teko Blirik sebagai simbol identitas pemerintah Hindia Belanda. Pamor Teko Blirik semakin melegenda di tahun-tahun berikutnya. Massa-rakyat tak ketinggal ber-euforia dengan Teko Blirik.

Di Jawa Tengah tepatnya kota Semarang, sebagaimana dicatat Soe Hok Gie dalam skripsinya yang berjudul "Di Bawah Lentera Merah", menyebutkan bahwa kota ini pada tahun 1921 menjadi salah baromater pergerakan politik di Indonesia. Teko Blirik dan Caping Krowak pun akhirnya berubah maknanya menjadi simbol perjuangan petani, buruh dan nelayan. Teko Blirik dan Caping Krowak selalu hadir dalam pemogokan-pemogokan menentang pemerintah kolonial. Bukan hanya di Semarang melainkan di seluruh tanah Jawa !

Berbagai sumber menyebutkan bahwa motif blirik lahir dari motif lurik wastra Nusantara. Motif lurik sendiri hingga saat ini identik dengan kehidupan wong cilik dalam masyarakat agraris, yaitu petani. Motif lurik juga merupakan pakaian yang hanya dikenakan oleh abdi dalem Kraton.

Sampai disini barangkali kita makin paham bahwa Teko Blirik bukan benda sembarangan. Mereka yang menggunakan Teko Blirik, setidaknya memiliki laku hidup sederhana dan prasaja. Mereka  yang minum teh dari Teko Blirik sekaligus menunjukkan keberpihakan dan kepedulian kepada wong cilik. ***

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun